GAJAH DENGAN GAJAH BERLAGA, ORANG MALUKU MATI DI TENGAH-TENGAH
Setiba di tempat tujuan, mereka beristirahat di beberapa barak. Namun sesungguhnya hanya sekitar 200 orang yang sampai ke barak -- 300 yang berangkat sekapal lenyap, lengkap dengan senjata mereka.
Ke mana mereka? Ternyata mereka telah membaur di tengah-tengah masyarakat dengan berpakaian sipil. Tidak lama kemudian, meletuslah 'pembunuhan massal' akhir Desember 1999. Indikasi bahwa pembunuhan massal itu ikut dipicu oleh tentara yang menghilang dari pelabuhan itu adalah ditemukannya orang-orang sipil yang membawa senjata, persis dengan senjata yang
dimiliki oleh ke 200 orang yang masih tetap bertugas menjaga keamanan. Kejadian ini sudah dilaporkan ke Panglima ABRI, tapi hingga kini masih sangat dirahasiakan.
Dari mana para provokator itu memperoleh 'dana operasional'?
Selain dari keluarga Suharto, mereka juga mendapat dana dari dua orang kroni Suharto yang punya bisnis di Maluku Utara, yakni Eka Cipta Widjaja dan Prajogo Pangestu (Jakarta Post,
18 Januari 2000).
Memang, keluarga Eka Tjipta Widjaja adalah pemilik kelompok Sinar Mas, yang salah satu anggotanya, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Corporation dipimpin oleh Jenderal Yoga Sugama, kerabat dan partner bisnis keluarga Suharto. Salah satu anak SMART, PT Global Agronusa Indonesia sejak Desember 1991 membuka perkebunan pisang seluas 2.000 hektar di Halmahera, berpatungan dengan raksasa buah-buahan AS, Del Monte (IEFR, 1997: 82-83; Swa, 7-27 November 1996: 86-87).
Sedangkan Prajogo Pangestu adalah pemilik kelompok Barito Pacific, di mana dua orang anak Suharto (Tutut dan Bambang), seorang menantu Suharto (Indra Rukmana) dan dua adik (alm) Nyonya Tien Suharto (Ibnu Hartomo dan Bernard Ibnu Hardoyo) ikut punya saham atau kedudukan. Kelompok ini adalah pemilik HPH yang terbanyak di Indonesia (52 areal) dengan luas total lebih dari 5 juta hektar.
Prajogo Pangestu juga tercatat sebagai salah satu kontributor klik Suharto yang terbesar. Dalam pemeriksaan Kejaksaan Agung ternyata bahwa di tahun 1990, Indoverbank NV di Negeri Belanda menerima AS$ 225 juta, a/n tiga yayasan yang diketuai Suharto --Supersemar, Dharmais, Dakab -- dari Prajogo Pangestu, yang ditransfer dari rekening Prajogo di Citibank Cabang Singapura dan BDN, Jakarta (Waspada, 22 May 1999, dikutip dari Antara). Boss Barito Pacific Group itu juga memberikan sumbangan sebesar Rp 80 milyar untuk kampanye Golkar bulan Juni 1999, atau hampir lebih dari seperempat dari seluruh biaya kampanye sebesar Rp 350 milyar. Selain itu, ia juga ikut "menyumbang" Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PGSI) melalui rekening pribadi Jaksa Agung waktu itu, Andi Ghalib (Brown, 1999: 16).
Pundi-pundi Prajogo Pangestu di Maluku sungguh banyak, sebab Barito Pacific menguasai PT Green Delta (HPH seluas 124.000 Ha -- jatuh tempo, Desember 2000); PT HBI Buntu Marannu (HPH seluas 48.000 Ha -- jatuh tempo, Juli 2007); PT Mangole Timber Producers (HPH seluas 191.800 Ha & pabrik kayu lapis di P. Mangole -- sebagian jatuh tempo Oktober 2010, sisanya April 2013); PT Seram Cahaya Timber (HPH seluas 58.000 Ha di P. Seram -- jatuh tempo, Januari 2012); PT Taliabu Timber (HPH seluas 100.000 Ha & pabrik kayu lapis di P. Mangole -- jatuh tempo, Juli 2009); PT Trio Maluku Pacific Raya (HPH seluas 105.000 Ha -- jatuh tempo, Februari 2001); PT Tunggal Agathis Indah Wood Industry (HPH seluas 125.000 Ha & pabrik kayu lapis di P. Jailolo -- jatuh tempo, Agustus 2012); PT Tunas Forestra (HPH seluas 42.300 Ha -- jatuh tempo, April 2012); PT Wana Adhi Guna (HPH seluas 64.000 Ha -- jatuh tempo, Maret 2009); pabrik lem PT Wiranusa Trisatya di P. Taliabu dan pabrik kayu lapis PT Yurina Wood Industry di Ternate (Brown, 1999: 14-16, 40, 62; PDBI, 1994: 83-84, 114).
Klik Cendana dan kelompok jenderal ekstrem kanan juga punya seorang cukong lain yang punya bisnis besar di Maluku, yakni Tommy Winata, boss kelompok Artha Graha, yang juga dikabarkan sangat dekat dengan Yorris Raweyai (Tempo, 31 Mei - 6 Juni 1999: 39-50). Ia adalah seorang pemegang saham perusahaan perikanan PT Ting Sheen Bandasejahtera bernilai investasi AS$ 200 juta, yang direncanakan dapat menangkap 2,5 juta ton ikan setahun. Armada kapal ikan yang berpangkalan di Desa Ngadi, Tual, ini berkongsi dengan Bambang Trihatmodjo dan sebuah perusahaan Taiwan (Swa, 22 Agustus-11 September 1996: 128-129).
Tidak tertutup kemungkinan bahwa ia juga ikut membiayai kegiatan provokator di Maluku Tenggara, mengingat bahwa kerusuhan antar-agama di seluruh Maluku diawali tanggal 15 s/d
17 Januari 1999 di Dobo (Kec. PP. Aru), dan pada tanggal 31 Maret 1999 kembali ke Tenggara, yakni di kota Tual (Kei Kecil) dan pada tanggal 6 April 1999 telah melebar ke Kei Besar.
Jelasnya, konflik di Maluku itu sesungguhnya lebih merupakan ekor pertikaian politik di Jakarta. Sejumlah jenderal yang merasa kekuasaannya kini disunat dengan pengangkatan Pangab dari Angkatan Laut, berusaha menunjukkan betapa sang Pangab tidak dapat mengendalikan situasi di Maluku. Kelompok tersebut, yang paling berkepentingan untuk mempertahankan dwifungsi ABRI, berusaha menunjukkan bahwa ABRI -- khususnya AD -- masih tetap diperlukan sebagai juru damai di tengah-tengah masyarakat sipil yang suka bertikai. Hal itu memang terbukti di Maluku, di mana belasan ribu pasukan kini diturunkan untuk "melerai" kedua belah fihak yang sudah sama-sama terbakar oleh dendam kesamat dan semangat jihad.
Lalu, kelompok-kelompok Islam yang merasa kurang mendapat bagian dalam pemerintahan Wahid & Megawati juga berusaha memelihara situasi perang di Maluku, agar dapat memobilisasi massanya demi 'menekan' -- atau kalau bisa, menjatuhkan -- presiden yang setengah buta dan wakil presiden yang tidak mampu berbicara.
LANJUTAN »
Ke mana mereka? Ternyata mereka telah membaur di tengah-tengah masyarakat dengan berpakaian sipil. Tidak lama kemudian, meletuslah 'pembunuhan massal' akhir Desember 1999. Indikasi bahwa pembunuhan massal itu ikut dipicu oleh tentara yang menghilang dari pelabuhan itu adalah ditemukannya orang-orang sipil yang membawa senjata, persis dengan senjata yang
dimiliki oleh ke 200 orang yang masih tetap bertugas menjaga keamanan. Kejadian ini sudah dilaporkan ke Panglima ABRI, tapi hingga kini masih sangat dirahasiakan.
Dari mana para provokator itu memperoleh 'dana operasional'?
Selain dari keluarga Suharto, mereka juga mendapat dana dari dua orang kroni Suharto yang punya bisnis di Maluku Utara, yakni Eka Cipta Widjaja dan Prajogo Pangestu (Jakarta Post,
18 Januari 2000).
Memang, keluarga Eka Tjipta Widjaja adalah pemilik kelompok Sinar Mas, yang salah satu anggotanya, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Corporation dipimpin oleh Jenderal Yoga Sugama, kerabat dan partner bisnis keluarga Suharto. Salah satu anak SMART, PT Global Agronusa Indonesia sejak Desember 1991 membuka perkebunan pisang seluas 2.000 hektar di Halmahera, berpatungan dengan raksasa buah-buahan AS, Del Monte (IEFR, 1997: 82-83; Swa, 7-27 November 1996: 86-87).
Sedangkan Prajogo Pangestu adalah pemilik kelompok Barito Pacific, di mana dua orang anak Suharto (Tutut dan Bambang), seorang menantu Suharto (Indra Rukmana) dan dua adik (alm) Nyonya Tien Suharto (Ibnu Hartomo dan Bernard Ibnu Hardoyo) ikut punya saham atau kedudukan. Kelompok ini adalah pemilik HPH yang terbanyak di Indonesia (52 areal) dengan luas total lebih dari 5 juta hektar.
Prajogo Pangestu juga tercatat sebagai salah satu kontributor klik Suharto yang terbesar. Dalam pemeriksaan Kejaksaan Agung ternyata bahwa di tahun 1990, Indoverbank NV di Negeri Belanda menerima AS$ 225 juta, a/n tiga yayasan yang diketuai Suharto --Supersemar, Dharmais, Dakab -- dari Prajogo Pangestu, yang ditransfer dari rekening Prajogo di Citibank Cabang Singapura dan BDN, Jakarta (Waspada, 22 May 1999, dikutip dari Antara). Boss Barito Pacific Group itu juga memberikan sumbangan sebesar Rp 80 milyar untuk kampanye Golkar bulan Juni 1999, atau hampir lebih dari seperempat dari seluruh biaya kampanye sebesar Rp 350 milyar. Selain itu, ia juga ikut "menyumbang" Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PGSI) melalui rekening pribadi Jaksa Agung waktu itu, Andi Ghalib (Brown, 1999: 16).
Pundi-pundi Prajogo Pangestu di Maluku sungguh banyak, sebab Barito Pacific menguasai PT Green Delta (HPH seluas 124.000 Ha -- jatuh tempo, Desember 2000); PT HBI Buntu Marannu (HPH seluas 48.000 Ha -- jatuh tempo, Juli 2007); PT Mangole Timber Producers (HPH seluas 191.800 Ha & pabrik kayu lapis di P. Mangole -- sebagian jatuh tempo Oktober 2010, sisanya April 2013); PT Seram Cahaya Timber (HPH seluas 58.000 Ha di P. Seram -- jatuh tempo, Januari 2012); PT Taliabu Timber (HPH seluas 100.000 Ha & pabrik kayu lapis di P. Mangole -- jatuh tempo, Juli 2009); PT Trio Maluku Pacific Raya (HPH seluas 105.000 Ha -- jatuh tempo, Februari 2001); PT Tunggal Agathis Indah Wood Industry (HPH seluas 125.000 Ha & pabrik kayu lapis di P. Jailolo -- jatuh tempo, Agustus 2012); PT Tunas Forestra (HPH seluas 42.300 Ha -- jatuh tempo, April 2012); PT Wana Adhi Guna (HPH seluas 64.000 Ha -- jatuh tempo, Maret 2009); pabrik lem PT Wiranusa Trisatya di P. Taliabu dan pabrik kayu lapis PT Yurina Wood Industry di Ternate (Brown, 1999: 14-16, 40, 62; PDBI, 1994: 83-84, 114).
Klik Cendana dan kelompok jenderal ekstrem kanan juga punya seorang cukong lain yang punya bisnis besar di Maluku, yakni Tommy Winata, boss kelompok Artha Graha, yang juga dikabarkan sangat dekat dengan Yorris Raweyai (Tempo, 31 Mei - 6 Juni 1999: 39-50). Ia adalah seorang pemegang saham perusahaan perikanan PT Ting Sheen Bandasejahtera bernilai investasi AS$ 200 juta, yang direncanakan dapat menangkap 2,5 juta ton ikan setahun. Armada kapal ikan yang berpangkalan di Desa Ngadi, Tual, ini berkongsi dengan Bambang Trihatmodjo dan sebuah perusahaan Taiwan (Swa, 22 Agustus-11 September 1996: 128-129).
Tidak tertutup kemungkinan bahwa ia juga ikut membiayai kegiatan provokator di Maluku Tenggara, mengingat bahwa kerusuhan antar-agama di seluruh Maluku diawali tanggal 15 s/d
17 Januari 1999 di Dobo (Kec. PP. Aru), dan pada tanggal 31 Maret 1999 kembali ke Tenggara, yakni di kota Tual (Kei Kecil) dan pada tanggal 6 April 1999 telah melebar ke Kei Besar.
Jelasnya, konflik di Maluku itu sesungguhnya lebih merupakan ekor pertikaian politik di Jakarta. Sejumlah jenderal yang merasa kekuasaannya kini disunat dengan pengangkatan Pangab dari Angkatan Laut, berusaha menunjukkan betapa sang Pangab tidak dapat mengendalikan situasi di Maluku. Kelompok tersebut, yang paling berkepentingan untuk mempertahankan dwifungsi ABRI, berusaha menunjukkan bahwa ABRI -- khususnya AD -- masih tetap diperlukan sebagai juru damai di tengah-tengah masyarakat sipil yang suka bertikai. Hal itu memang terbukti di Maluku, di mana belasan ribu pasukan kini diturunkan untuk "melerai" kedua belah fihak yang sudah sama-sama terbakar oleh dendam kesamat dan semangat jihad.
Lalu, kelompok-kelompok Islam yang merasa kurang mendapat bagian dalam pemerintahan Wahid & Megawati juga berusaha memelihara situasi perang di Maluku, agar dapat memobilisasi massanya demi 'menekan' -- atau kalau bisa, menjatuhkan -- presiden yang setengah buta dan wakil presiden yang tidak mampu berbicara.
LANJUTAN »