Gajah Dengan Gajah Berlaga, Orang Maluku Mati di Tengah - Tengah
Oleh George J. Aditjondro
Date: Sun, 23 Jan 2000
TRADISI TNI untuk merekayasa kerusuhan sosial, dan secara sefihak berusaha menggemboskan dinamika masyarakat sipil yang sudah ada dengan menciptakan atau mendukung organisasi-organisasi baru yang berkiblat pada kepentingan tentara, semakin relevan saat ini. Belakangan ini, setelah ABRI terpaksa meninggalkan bumi TimorLoro Sa'e yang |
ORANG-ORANG JAKARTA DI BALIK TRAGEDI MALUKU oleh: George J. Aditjondro
Date: Thu, 7 Jun 2001 |
sudah mereka jarah selama hampir seperempat abad, dan setelah kesuksesan untuk menghapus doktrin dwifungsi ABRI begitu mempengaruhi legitimasi sosial rezim Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri, cara-cara lama untuk mengobarkan 'konflik horizontal' semakin digalakkan.
Sudah lebih dari setahun, penduduk kepulauan Maluku, yang baru saja dipecah dua menjadi propinsi Maluku yang berpusat di Ambon dan propinsi Maluku Utara yang berpusat di Ternate,
terlibat dalam 'perang saudara' antara kaum Muslimin dan Nasrani. Korban jiwa sudah mencapai 2.000 jiwa, cukup tinggi untuk kepulauan yang hanya berpenduduk dua juta jiwa.
Sesudah berita bisik-bisik selama setahun, apa yang sudah lama tersebar di internet akhirnya mencuat juga ke media umum. Rangkaian kerusuhan antar kelompok agama di Maluku -- yang
kini sudah merembet ke Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa -- dipicu dan terus diberi amunisi oleh sejumlah provokator yang dibiayai oleh keluarga dan sejumlah kroni Suharto. Begitulah hasil pantauan sosiolog asal Halmahera, Thamrin Amal Tomagola, yang juga dosen FISIP UI, serta dua organisasi hak-hak asasi manusia, KONTRAS dan Komnas HAM. Sinyalemen itu semakin santer, setelah Komnas HAM menemukan dokumen-dokumen palsu di jalan-jalan di kota Ambon yang berisi hasutan perang antar agama, setelah beberapa kejadian berdarah di sana (Sydney Morning Herald, 15 Januari 2000).
Tiga orang provokator di Maluku yang banyak disebut-sebut adalah Butje Sarpara, Dicky Wattimena dan Yorris Raweyai. Sarpara adalah seorang bekas guru di Maluku Utara, yang pernah juga menjabat sebagai kepala Dinas Agraria di Jayapura (kini: Port Numbay) di Papua Barat. Kolonel Wattimena adalah seorang bekas anggota PASWALPRES yang pernah menjabat sebagai Walikota Ambon. Yorris Raweyai, adalah wakil ketua Pemuda Pancasila, dan akrab dengan Bambang Trihatmodjo, putera kedua bekas Presiden Suharto (Jakarta Post, 18 Januari 2000; Sydney Morning Herald, 19 Januari 2000).
Para provokator itu tentunya tidak bekerja sendirian. Lebih-lebih Yorris Raweyai, yang resminya bertempat tinggal di Jakarta, tapi bersama ketuanya, Yapto Suryosumarno juga diberitakan terlibat adu domba antar kelompok etnis di berbagai propinsi lain, misalnya di Kalimantan Barat, di mana kelompok etnis Melayu dan Dayak -- yang tahun lalu sama-sama angkat senjata melawan migran Madura -- kini sudah mulai terlibat konflik berdarah (Siar, 16 April 1999).
Di Ambon sendiri, para provokator itu tinggal "menggosok" kelompok-kelompok pemuda brandalan (gang) yang Nasrani maupun yang Muslim untuk memicu pertempuran. Kelompok-kelompok itu sendiri, pada gilirannya juga punya "boss" di Jakarta, yang pada gilirannya berusaha "merayu" anak-anak Suharto untuk mendukung mereka.
Kelompok brandal Nasrani bernama Cowok Keristen, disingkat Coker, bermarkas di gereja Protestan Maranatha. Di Jakarta, koneksi mereka adalah dua orang pemuda Maluku Kristen, Milton Matuanakota dan Ongky Pieters. Kelompok pemuda Maluku Kristen itu menguasai pusat perbelanjaan, lapangan parkir, dan sarang judi di Jakarta Barat Laut. Setelah peristiwa Ketapang di Jakarta, bulan November 1998, ratusan anak buah Milton dan Ongky hijrah ke Ambon.
Lawan kelompok Milton dan Ongky di Jakarta adalah Ongen Sangaji, aktivis Pemuda Pancasila yang juga koordinator satu kelompok mahasiswa Muslim Maluku. Anggota kelompok ini banyak
direkrut dalam PAM Swakarsa yang dikerahkan oleh Pangab Jenderal Wiranto dan Pjs. Presiden Habibie untuk membentengi gedung parlemen dari para mahasiswa yang menentang Sidang Istimewa MPR, bulan November 1998. Sementara Ongen dikabarkan punya hubungan dekat dengan Bambang Trihatmodjo, Milton dikabarkan lebih dekat dengan Siti Hardiyanti Rukmana (van Klinken, n.d.; HRW 1999: 8).
Konflik berdarah di Maluku itu tentu saja tidak hanya melibatkan berbagai tokoh sipil serta bekas walikota Ambon itu. Tentara -- dan polisi -- aktif juga dicurigai Tamagola terlibat dalam kegiatan kasak-kusuk berdarah ini. Makanya dia berpendapat, bahwa ujung-ujungnya, jaringan provokator itu juga punya hubungan dengan bekas Menhankam dan Pangab Jenderal Wiranto (Sydney Morning Herald, 19 Januari 2000).
Tiga oknum anggota TNI/Polri berhasil diamankan petugas yang sedang melakukan razia pembatasan jam ke luar malam di Ambon, Sabtu malam, 15 Januari lalu. Ketiga oknum tersebut adalah; satu orang anggota Kopassus dan dua anggota Polri. "Diamankannya tiga orang aparat itu karena kedapatan masih berkeliaran di jalanan saat diberlakukan pembatasan jam ke luar malam pukul 22.00 WIT hingga pukul 06.00 WIT," kata Pangdam XVI/Pattimura Brigjen TNI Max Tamaela kepada wartawan di Ambon (Jawa Pos, 17 Januari 2000).
Celakanya, bukan hanya satu dua orang 'oknum ABRI' itu saja yang terlibat. Menurut seorang sumber saya di Ambon, awal Desember 1999, setelah kunjungan Presiden dan wakilnya ke Ambon, Panglima TNI mengirim 500 orang tentara ke sana. Setiba di tempat tujuan, mereka beristirahat di beberapa barak. Namun sesungguhnya hanya sekitar 200 orang yang sampai ke barak -- 300 yang berangkat sekapal lenyap, lengkap dengan senjata mereka.
Ke mana mereka? Ternyata mereka telah membaur di tengah-tengah masyarakat dengan berpakaian sipil. Tidak lama kemudian, meletuslah 'pembunuhan massal' akhir Desember 1999. Indikasi bahwa pembunuhan massal itu ikut dipicu oleh tentara yang menghilang dari pelabuhan itu adalah ditemukannya orang-orang sipil yang membawa senjata, persis dengan senjata yang
dimiliki oleh ke 200 orang yang masih tetap bertugas menjaga keamanan. Kejadian ini sudah dilaporkan ke Panglima ABRI, tapi hingga kini masih sangat dirahasiakan.
Dari mana para provokator itu memperoleh 'dana operasional'?
Selain dari keluarga Suharto, mereka juga mendapat dana dari dua orang kroni Suharto yang punya bisnis di Maluku Utara, yakni Eka Cipta Widjaja dan Prajogo Pangestu (Jakarta Post,
18 Januari 2000).
Sudah lebih dari setahun, penduduk kepulauan Maluku, yang baru saja dipecah dua menjadi propinsi Maluku yang berpusat di Ambon dan propinsi Maluku Utara yang berpusat di Ternate,
terlibat dalam 'perang saudara' antara kaum Muslimin dan Nasrani. Korban jiwa sudah mencapai 2.000 jiwa, cukup tinggi untuk kepulauan yang hanya berpenduduk dua juta jiwa.
Sesudah berita bisik-bisik selama setahun, apa yang sudah lama tersebar di internet akhirnya mencuat juga ke media umum. Rangkaian kerusuhan antar kelompok agama di Maluku -- yang
kini sudah merembet ke Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa -- dipicu dan terus diberi amunisi oleh sejumlah provokator yang dibiayai oleh keluarga dan sejumlah kroni Suharto. Begitulah hasil pantauan sosiolog asal Halmahera, Thamrin Amal Tomagola, yang juga dosen FISIP UI, serta dua organisasi hak-hak asasi manusia, KONTRAS dan Komnas HAM. Sinyalemen itu semakin santer, setelah Komnas HAM menemukan dokumen-dokumen palsu di jalan-jalan di kota Ambon yang berisi hasutan perang antar agama, setelah beberapa kejadian berdarah di sana (Sydney Morning Herald, 15 Januari 2000).
Tiga orang provokator di Maluku yang banyak disebut-sebut adalah Butje Sarpara, Dicky Wattimena dan Yorris Raweyai. Sarpara adalah seorang bekas guru di Maluku Utara, yang pernah juga menjabat sebagai kepala Dinas Agraria di Jayapura (kini: Port Numbay) di Papua Barat. Kolonel Wattimena adalah seorang bekas anggota PASWALPRES yang pernah menjabat sebagai Walikota Ambon. Yorris Raweyai, adalah wakil ketua Pemuda Pancasila, dan akrab dengan Bambang Trihatmodjo, putera kedua bekas Presiden Suharto (Jakarta Post, 18 Januari 2000; Sydney Morning Herald, 19 Januari 2000).
Para provokator itu tentunya tidak bekerja sendirian. Lebih-lebih Yorris Raweyai, yang resminya bertempat tinggal di Jakarta, tapi bersama ketuanya, Yapto Suryosumarno juga diberitakan terlibat adu domba antar kelompok etnis di berbagai propinsi lain, misalnya di Kalimantan Barat, di mana kelompok etnis Melayu dan Dayak -- yang tahun lalu sama-sama angkat senjata melawan migran Madura -- kini sudah mulai terlibat konflik berdarah (Siar, 16 April 1999).
Di Ambon sendiri, para provokator itu tinggal "menggosok" kelompok-kelompok pemuda brandalan (gang) yang Nasrani maupun yang Muslim untuk memicu pertempuran. Kelompok-kelompok itu sendiri, pada gilirannya juga punya "boss" di Jakarta, yang pada gilirannya berusaha "merayu" anak-anak Suharto untuk mendukung mereka.
Kelompok brandal Nasrani bernama Cowok Keristen, disingkat Coker, bermarkas di gereja Protestan Maranatha. Di Jakarta, koneksi mereka adalah dua orang pemuda Maluku Kristen, Milton Matuanakota dan Ongky Pieters. Kelompok pemuda Maluku Kristen itu menguasai pusat perbelanjaan, lapangan parkir, dan sarang judi di Jakarta Barat Laut. Setelah peristiwa Ketapang di Jakarta, bulan November 1998, ratusan anak buah Milton dan Ongky hijrah ke Ambon.
Lawan kelompok Milton dan Ongky di Jakarta adalah Ongen Sangaji, aktivis Pemuda Pancasila yang juga koordinator satu kelompok mahasiswa Muslim Maluku. Anggota kelompok ini banyak
direkrut dalam PAM Swakarsa yang dikerahkan oleh Pangab Jenderal Wiranto dan Pjs. Presiden Habibie untuk membentengi gedung parlemen dari para mahasiswa yang menentang Sidang Istimewa MPR, bulan November 1998. Sementara Ongen dikabarkan punya hubungan dekat dengan Bambang Trihatmodjo, Milton dikabarkan lebih dekat dengan Siti Hardiyanti Rukmana (van Klinken, n.d.; HRW 1999: 8).
Konflik berdarah di Maluku itu tentu saja tidak hanya melibatkan berbagai tokoh sipil serta bekas walikota Ambon itu. Tentara -- dan polisi -- aktif juga dicurigai Tamagola terlibat dalam kegiatan kasak-kusuk berdarah ini. Makanya dia berpendapat, bahwa ujung-ujungnya, jaringan provokator itu juga punya hubungan dengan bekas Menhankam dan Pangab Jenderal Wiranto (Sydney Morning Herald, 19 Januari 2000).
Tiga oknum anggota TNI/Polri berhasil diamankan petugas yang sedang melakukan razia pembatasan jam ke luar malam di Ambon, Sabtu malam, 15 Januari lalu. Ketiga oknum tersebut adalah; satu orang anggota Kopassus dan dua anggota Polri. "Diamankannya tiga orang aparat itu karena kedapatan masih berkeliaran di jalanan saat diberlakukan pembatasan jam ke luar malam pukul 22.00 WIT hingga pukul 06.00 WIT," kata Pangdam XVI/Pattimura Brigjen TNI Max Tamaela kepada wartawan di Ambon (Jawa Pos, 17 Januari 2000).
Celakanya, bukan hanya satu dua orang 'oknum ABRI' itu saja yang terlibat. Menurut seorang sumber saya di Ambon, awal Desember 1999, setelah kunjungan Presiden dan wakilnya ke Ambon, Panglima TNI mengirim 500 orang tentara ke sana. Setiba di tempat tujuan, mereka beristirahat di beberapa barak. Namun sesungguhnya hanya sekitar 200 orang yang sampai ke barak -- 300 yang berangkat sekapal lenyap, lengkap dengan senjata mereka.
Ke mana mereka? Ternyata mereka telah membaur di tengah-tengah masyarakat dengan berpakaian sipil. Tidak lama kemudian, meletuslah 'pembunuhan massal' akhir Desember 1999. Indikasi bahwa pembunuhan massal itu ikut dipicu oleh tentara yang menghilang dari pelabuhan itu adalah ditemukannya orang-orang sipil yang membawa senjata, persis dengan senjata yang
dimiliki oleh ke 200 orang yang masih tetap bertugas menjaga keamanan. Kejadian ini sudah dilaporkan ke Panglima ABRI, tapi hingga kini masih sangat dirahasiakan.
Dari mana para provokator itu memperoleh 'dana operasional'?
Selain dari keluarga Suharto, mereka juga mendapat dana dari dua orang kroni Suharto yang punya bisnis di Maluku Utara, yakni Eka Cipta Widjaja dan Prajogo Pangestu (Jakarta Post,
18 Januari 2000).
Memang, keluarga Eka Tjipta Widjaja adalah pemilik kelompok Sinar Mas, yang salah satu anggotanya, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Corporation dipimpin oleh Jenderal Yoga Sugama, kerabat dan partner bisnis keluarga Suharto. Salah satu anak SMART, PT Global Agronusa Indonesia sejak Desember 1991 membuka perkebunan pisang seluas 2.000 hektar di Halmahera, berpatungan dengan raksasa buah-buahan AS, Del Monte (IEFR, 1997: 82-83; Swa, 7-27 November 1996: 86-87).
Sedangkan Prajogo Pangestu adalah pemilik kelompok Barito Pacific, di mana dua orang anak Suharto (Tutut dan Bambang), seorang menantu Suharto LANJUTAN » |
|