Sidang Makar Alex Manuputty Diwarnai Perdebatan
TEMPO / 16 Dec 2002
TEMPO Interaktif, Jakarta: Sidang lanjutan kasus makar yang melibatkan Alex Hermanus Manuputty dan Semy Wailarumy, pimpinan Front Kedaulatan Maluku, di PN Jakarta Utara, Senin (16/12), dipenuhi perdebatan sejak awal persidangan. Hal itu terjadi karena kedua terdakwa hingga persidangan hari ini belum menerima surat perpanjangan masa penahanan, yang telah habis sejak 12 November lalu.
"Kambing saja tidak bisa ditahan tanpa surat. Ini orang yang ditahan," tukas Saharapan Pangaribuan, salah satu pengacara terdakwa, dengan nada tinggi.
Selanjutnya, dalam persidangan yang molor tiga jam dari jadual pukul 11.00 WIB itu, ia mempertanyakan keabsahan penahanan kliennya.
Pada kesempatan itu, penasehat hukum maupun kedua terdakwa memang mengaku belum menerima surat perpanjangan masa tahanan, yang menurut majelis hakim sudah dikirimkan lewat pos. Sebaliknya, majelis hakim yang dipimpin I Wayan Padang dan Jaksa Herman Koetoeboen menyatakan, masing-masing dari mereka telah menerima surat itu. Setelah terjadi perdebatan sekitar 20 menit, sidang akhirnya dilanjutkan untuk membahas agenda hari ini, yaitu pemeriksaan saksi ahli.
"Majelis hakim tetap pada keputusannya," tegas Padang.
Dalam persidangan ini, penasehat hukum mengajukan empat saksi ahli, namun hanya dua yang hadir yaitu, Harun Al Rasyid sebagai pakar hukum tata negara, dan Hendardi sebagai pakar bidang hak azasi manusia. Dalam keterangannya, Harun secara tegas menilai pembentukan Republik Maluku Selatan melanggar konstitusi.
Sebab itu harus ditumpas. "Tidak bisa ada negara dalam negara," tandas dia.
Dalam persidangan kali ini, kedua terdakwa diberi kesempatan bertanya kepada saksi ahli. Lalu, Semy pun bertanya kepada Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu tentang sisi pandang hukum mengenai kegiatan FKM. Terhadap pertanyaan itu, Harun tegas menyatakan "Harus ditindak." Mendengar jawaban itu, kedua terdakwa hanya bisa tersenyum sambil memandang Profesor berumur 72 tahun itu.
Sementara itu, Hendardi menerangkan, dari sudut pandang hak azasi manusia, kajian bersifat teoritis mengenai suatu ide atau ideologi tidak bisa dikenakan delik pidana. "Pikiran atau ide tidak bisa diadili," kata Hendardi dengan tegas sehingga mengundang tepuk tangan sekitar 30 orang pendukung FKM. Namun demikian, lanjut dia, delik pidana itu bisa dilakukan jika ada upaya untuk menerapkan ide atau ideologi itu lewat cara kekerasan.
Kedua terdakwa bisa menerima keterangan Hendardi. Namun, hanya Alex yang bisa menerima keterangan Harun. Di akhir persidangan juga sempat terjadi perdebatan antara pengacara terdakwa dengan petugas dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, yang menyerahkan surat susulan perpanjangan masa tahanan hingga 27 Desember.
Namun, kedua terdakwa dan penasehat hukumnya menolak surat tertanggal 16 Desember 2002 itu. Walau begitu, aparat kepolisian dari Polres Jakarta Utara tetap membawa kedua terdakwa ke rumah tahanan Mabes Polri, diiringi protes para penasehat hukum.
Sementara, para pendukung FKM berulang kali meneriakkan kata ‘Merdeka’ untuk mengiringi kedatangan dan kepergian kedua terdakwa dari PN Jakarta Utara.
Sebagian dari para pemuda berkulit gelap itu berambut cepak, dan beberapa di antaranya mengenakan kalung bertanda salib. Menyikapi hal itu, sekitar 30 orang aparat kepolisian bersiaga di dalam maupun di sekitar ruang persidangan.
Beberapa di antaranya membawa senapan laras panjang, dan senapan gas airmata.
Sidang dilanjutkan Selasa (17/12) besok, pukul 12.00 WIB, untuk mendengarkan pembacaan tuntutan jaksa. (Budi Riza – Tempo News Room)
http://www.tempo.co.id/news/2002/12/16/1,1,39,id.html
@ tempointeraktif.com
TEMPO / 16 Dec 2002
TEMPO Interaktif, Jakarta: Sidang lanjutan kasus makar yang melibatkan Alex Hermanus Manuputty dan Semy Wailarumy, pimpinan Front Kedaulatan Maluku, di PN Jakarta Utara, Senin (16/12), dipenuhi perdebatan sejak awal persidangan. Hal itu terjadi karena kedua terdakwa hingga persidangan hari ini belum menerima surat perpanjangan masa penahanan, yang telah habis sejak 12 November lalu.
"Kambing saja tidak bisa ditahan tanpa surat. Ini orang yang ditahan," tukas Saharapan Pangaribuan, salah satu pengacara terdakwa, dengan nada tinggi.
Selanjutnya, dalam persidangan yang molor tiga jam dari jadual pukul 11.00 WIB itu, ia mempertanyakan keabsahan penahanan kliennya.
Pada kesempatan itu, penasehat hukum maupun kedua terdakwa memang mengaku belum menerima surat perpanjangan masa tahanan, yang menurut majelis hakim sudah dikirimkan lewat pos. Sebaliknya, majelis hakim yang dipimpin I Wayan Padang dan Jaksa Herman Koetoeboen menyatakan, masing-masing dari mereka telah menerima surat itu. Setelah terjadi perdebatan sekitar 20 menit, sidang akhirnya dilanjutkan untuk membahas agenda hari ini, yaitu pemeriksaan saksi ahli.
"Majelis hakim tetap pada keputusannya," tegas Padang.
Dalam persidangan ini, penasehat hukum mengajukan empat saksi ahli, namun hanya dua yang hadir yaitu, Harun Al Rasyid sebagai pakar hukum tata negara, dan Hendardi sebagai pakar bidang hak azasi manusia. Dalam keterangannya, Harun secara tegas menilai pembentukan Republik Maluku Selatan melanggar konstitusi.
Sebab itu harus ditumpas. "Tidak bisa ada negara dalam negara," tandas dia.
Dalam persidangan kali ini, kedua terdakwa diberi kesempatan bertanya kepada saksi ahli. Lalu, Semy pun bertanya kepada Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu tentang sisi pandang hukum mengenai kegiatan FKM. Terhadap pertanyaan itu, Harun tegas menyatakan "Harus ditindak." Mendengar jawaban itu, kedua terdakwa hanya bisa tersenyum sambil memandang Profesor berumur 72 tahun itu.
Sementara itu, Hendardi menerangkan, dari sudut pandang hak azasi manusia, kajian bersifat teoritis mengenai suatu ide atau ideologi tidak bisa dikenakan delik pidana. "Pikiran atau ide tidak bisa diadili," kata Hendardi dengan tegas sehingga mengundang tepuk tangan sekitar 30 orang pendukung FKM. Namun demikian, lanjut dia, delik pidana itu bisa dilakukan jika ada upaya untuk menerapkan ide atau ideologi itu lewat cara kekerasan.
Kedua terdakwa bisa menerima keterangan Hendardi. Namun, hanya Alex yang bisa menerima keterangan Harun. Di akhir persidangan juga sempat terjadi perdebatan antara pengacara terdakwa dengan petugas dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, yang menyerahkan surat susulan perpanjangan masa tahanan hingga 27 Desember.
Namun, kedua terdakwa dan penasehat hukumnya menolak surat tertanggal 16 Desember 2002 itu. Walau begitu, aparat kepolisian dari Polres Jakarta Utara tetap membawa kedua terdakwa ke rumah tahanan Mabes Polri, diiringi protes para penasehat hukum.
Sementara, para pendukung FKM berulang kali meneriakkan kata ‘Merdeka’ untuk mengiringi kedatangan dan kepergian kedua terdakwa dari PN Jakarta Utara.
Sebagian dari para pemuda berkulit gelap itu berambut cepak, dan beberapa di antaranya mengenakan kalung bertanda salib. Menyikapi hal itu, sekitar 30 orang aparat kepolisian bersiaga di dalam maupun di sekitar ruang persidangan.
Beberapa di antaranya membawa senapan laras panjang, dan senapan gas airmata.
Sidang dilanjutkan Selasa (17/12) besok, pukul 12.00 WIB, untuk mendengarkan pembacaan tuntutan jaksa. (Budi Riza – Tempo News Room)
http://www.tempo.co.id/news/2002/12/16/1,1,39,id.html
@ tempointeraktif.com