Seram Butuh Pintu-pintu Ekspor
KOMPAS Selasa, 23 Januari 2007
Ambon, Kompas - Percepatan pertumbuhan ekonomi di Pulau Seram, Provinsi Maluku, menuntut pembukaan pintu-pintu keluar untuk memotong jalur tata niaga yang panjang lewat Pelabuhan Ambon. Satu-satunya pintu keluar lewat Pelabuhan Ambon selama ini dinilai sangat menghambat pertumbuhan perekonomian di Seram karena biaya tinggi dan tidak efisien.
Pembangunan pintu-pintu niaga keluar dari Seram tersebut menjadi salah satu rencana Badan Pengelola Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (BP Kapet)
Seram.
"Selama ini Seram tidak memiliki pintu ekspor sehingga selisih harga jual di sentra produksi dan sentra pemasaran sangat tinggi. Misalnya, di Seram Bagian Timur harga tiga butir kelapa hanya Rp 1.000, setelah tiba di Ambon bisa Rp 2.500 per butir. Cengkeh di Seram Rp 20.000 per kg, tetapi setelah tiba di Ambon menjadi Rp50.000," kata Benny Turukay, Direktur Perencanaan BP Kapet Seram, Senin (22/1).
Sebaliknya, barang-barang industri yang didatangkan dari luar Maluku harganya tinggi karena harus transit dulu di Ambon kemudian baru dikirim ke Seram. "Apabila pemerintah serius mengembangkan Seram sebagai pusat perekonomian, pintu-pintu keluar itu harus segera dibuka," tutur Benny.
Seram berada di jalur yang strategis karena dekat dengan jalur perdagangan internasional Akli-3. Jalur ini dilewati oleh kapal-kapal niaga dari Filipina, Jepang, dan negara-negara Uni Eropa menuju Makassar sebelum masuk Jakarta.
Berdasarkan studi kelayakan yang dilakukan Badan Pengelola Kapet Seram, ada empat lokasi yang potensial menjadi pintu keluar. Lokasi pertama adalah Teluk Waru, Kecamatan Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur. Lokasi kedua di Teluk Kawa, Kecamatan Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat. Lokasi ketiga di Teluk Makariki, Kabupaten Maluku Tengah, dan lokasi keempat di Kobisadar, Seram Utara.
Selain pintu keluar, hambatan lainnya, menurut Direktur Administrasi Umum BP Kapet Seram Samlatu Hamalo, adalah minimnya infrastruktur, yaitu jalan, pelabuhan, lapangan udara, sumber listrik, dan jaringan komunikasi.
"Banyak investor yang datang dan survei lokasi, tetapi hanya sedikit yang kembali dan menanamkan modalnya," katanya. Beberapa sektor yang sudah dilirik investor tetapi realisasinya tertunda adalah
tambang emas dan kelapa sawit seluas 50.000 hektar di Seram Bagian Timur serta pertanian dan galangan kapal di Seram Bagian Barat. Saat ini, lanjut Samlatu, investor yang masuk masih terbatas pada perikanan tangkap dan budidaya. (ang)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
Ambon, Kompas - Percepatan pertumbuhan ekonomi di Pulau Seram, Provinsi Maluku, menuntut pembukaan pintu-pintu keluar untuk memotong jalur tata niaga yang panjang lewat Pelabuhan Ambon. Satu-satunya pintu keluar lewat Pelabuhan Ambon selama ini dinilai sangat menghambat pertumbuhan perekonomian di Seram karena biaya tinggi dan tidak efisien.
Pembangunan pintu-pintu niaga keluar dari Seram tersebut menjadi salah satu rencana Badan Pengelola Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (BP Kapet)
Seram.
"Selama ini Seram tidak memiliki pintu ekspor sehingga selisih harga jual di sentra produksi dan sentra pemasaran sangat tinggi. Misalnya, di Seram Bagian Timur harga tiga butir kelapa hanya Rp 1.000, setelah tiba di Ambon bisa Rp 2.500 per butir. Cengkeh di Seram Rp 20.000 per kg, tetapi setelah tiba di Ambon menjadi Rp50.000," kata Benny Turukay, Direktur Perencanaan BP Kapet Seram, Senin (22/1).
Sebaliknya, barang-barang industri yang didatangkan dari luar Maluku harganya tinggi karena harus transit dulu di Ambon kemudian baru dikirim ke Seram. "Apabila pemerintah serius mengembangkan Seram sebagai pusat perekonomian, pintu-pintu keluar itu harus segera dibuka," tutur Benny.
Seram berada di jalur yang strategis karena dekat dengan jalur perdagangan internasional Akli-3. Jalur ini dilewati oleh kapal-kapal niaga dari Filipina, Jepang, dan negara-negara Uni Eropa menuju Makassar sebelum masuk Jakarta.
Berdasarkan studi kelayakan yang dilakukan Badan Pengelola Kapet Seram, ada empat lokasi yang potensial menjadi pintu keluar. Lokasi pertama adalah Teluk Waru, Kecamatan Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur. Lokasi kedua di Teluk Kawa, Kecamatan Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat. Lokasi ketiga di Teluk Makariki, Kabupaten Maluku Tengah, dan lokasi keempat di Kobisadar, Seram Utara.
Selain pintu keluar, hambatan lainnya, menurut Direktur Administrasi Umum BP Kapet Seram Samlatu Hamalo, adalah minimnya infrastruktur, yaitu jalan, pelabuhan, lapangan udara, sumber listrik, dan jaringan komunikasi.
"Banyak investor yang datang dan survei lokasi, tetapi hanya sedikit yang kembali dan menanamkan modalnya," katanya. Beberapa sektor yang sudah dilirik investor tetapi realisasinya tertunda adalah
tambang emas dan kelapa sawit seluas 50.000 hektar di Seram Bagian Timur serta pertanian dan galangan kapal di Seram Bagian Barat. Saat ini, lanjut Samlatu, investor yang masuk masih terbatas pada perikanan tangkap dan budidaya. (ang)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS