Walikota Ambon: Perangi Separatisme, atasi Dulu Kemiskinan
04-Jan-2008, Dian Pesiwarissa, Radio Baku Bae - Ambon
UNTUK memerangi gerakan-gerakan separatis, yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) termasuk gerakan Front Kedaulatan Maluku (FKM) Republik Maluku Selatan (RMS), pemerintah harus dapat mengatasi berbagai kesenjangan pembangunan dan kemiskinan yang masih terjadi di daerah- daerah.
Pernyataan tersebut disampaikan Walikota Ambon M.J. Papilaya, siang tadi di Ambon, terkait isu FKM/RMS, yang kembali mengemuka di Ambon, pasca tarian cakalele oleh para simpatisan FKM/RMS pada puncak perayaan Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang berlangsung di Lapangan Merdeka Ambon, pertengahan tahun lalu.
Lebih jauh Papilaja katakan, gerakan-gerakan tersebut muncul karena ada rasa ketidakadilan di masyarakat. Sehingga tidak hanya dibutuhkan peningkatan pemahaman wawasan kebangsaan dan upaya represif dari pemerintah, namun juga dibutuhkan tindakan preventif dengan intervensi program, yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Entah itu di bidang kesehatan, pendidikan, pengangguran maupun kemiskinan.
"Instrumen itu kalau jalan di kantong-kantong kemiskinan yang ada di Maluku, maka masyarakat akan punya ketahanan ekonomi maupun sosial. Dengan begitu, jika datang isu yang memprovokasi masyarakat untuk melakukan kegiatan separatis maupun terorisme, orang tidak akan tergoda. Tapi sepanjang belum dilakukan, maka bahaya laten itu akan tetap ada," paparnya.
Papilaja juga mengatakan, dengan diterbitkannya Peraturan Presiden RI Nomor 77 tahun 2007 tentang larangan penggunaan bendera, lagu maupun atribut yang berkaitan dengan RMS, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) maupun Organisasi Papua Merdeka (OPM), diharapkan bisa menjadi instrumen yang efektif bagi aparat penegak hukum untuk menindak para pelaku separatis tersebut. (rbb)
Copyright © 2007 RadioBakuBae.com. All right reserved.
04-Jan-2008, Dian Pesiwarissa, Radio Baku Bae - Ambon
UNTUK memerangi gerakan-gerakan separatis, yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) termasuk gerakan Front Kedaulatan Maluku (FKM) Republik Maluku Selatan (RMS), pemerintah harus dapat mengatasi berbagai kesenjangan pembangunan dan kemiskinan yang masih terjadi di daerah- daerah.
Pernyataan tersebut disampaikan Walikota Ambon M.J. Papilaya, siang tadi di Ambon, terkait isu FKM/RMS, yang kembali mengemuka di Ambon, pasca tarian cakalele oleh para simpatisan FKM/RMS pada puncak perayaan Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang berlangsung di Lapangan Merdeka Ambon, pertengahan tahun lalu.
Lebih jauh Papilaja katakan, gerakan-gerakan tersebut muncul karena ada rasa ketidakadilan di masyarakat. Sehingga tidak hanya dibutuhkan peningkatan pemahaman wawasan kebangsaan dan upaya represif dari pemerintah, namun juga dibutuhkan tindakan preventif dengan intervensi program, yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Entah itu di bidang kesehatan, pendidikan, pengangguran maupun kemiskinan.
"Instrumen itu kalau jalan di kantong-kantong kemiskinan yang ada di Maluku, maka masyarakat akan punya ketahanan ekonomi maupun sosial. Dengan begitu, jika datang isu yang memprovokasi masyarakat untuk melakukan kegiatan separatis maupun terorisme, orang tidak akan tergoda. Tapi sepanjang belum dilakukan, maka bahaya laten itu akan tetap ada," paparnya.
Papilaja juga mengatakan, dengan diterbitkannya Peraturan Presiden RI Nomor 77 tahun 2007 tentang larangan penggunaan bendera, lagu maupun atribut yang berkaitan dengan RMS, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) maupun Organisasi Papua Merdeka (OPM), diharapkan bisa menjadi instrumen yang efektif bagi aparat penegak hukum untuk menindak para pelaku separatis tersebut. (rbb)
Copyright © 2007 RadioBakuBae.com. All right reserved.
RMS, Tarian Cakalele dan Persoalan Pembangunan di Maluku
Jan-24-08
Oleh: Dino Umahuk
Sebagaimana diberitakan berbagai media massa, pada acara peringatan Hari Keluarga Nasional yang berlangsung di Lapangan Merdeka Ambon, 18 Juni silam, secara tak terduga sejumlah penari Cakalele membentangkan bendera Benang Raja yang merupakan simbol gerakan Republik Maluku Selatan. Yang membuat heboh, pengibaran itu dilakukan dihadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan juga sejumlah duta besar negara sahabat lainnya.
Presiden Sudilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang disuguhi tarian Cakalele yang berujung pada berkibarnya bendera Benang Raja itu terlihat jelas kemarahannya. Sebelum memulai pidato resminya, dengan raut membuncah, SBY membukanya dengan pidato tanpa teks, ''Kalau ada perbedaan diantara para elite, para pemimpin, para tokoh, janganlah memilih cara-cara yang tidak baik. Kasihan rakyat, kalau lebih dari itu.''
Masih di hadapan ribuan masyarakat Kota Ambon yang hadir, SBY memberi ultimatum, bila tarian Cakalele dinilai menggangu keutuhan NKRI, atas nama institusi, presiden meminta pejabat yang berwenang memberikan tindakan yang tegas dan tepat. ''Ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Keutuhan bangsa dan negara, persatuan dan kesatuan di antara kita semua harus kita junjung tinggi dan kita tegakkan,'' tegasnya
Apa yang membuat SBY kesal? Selain karena berhasil menelikung aparat keamanan yang berujung dengan mempermalukan dirinya, tarian Cakalele yang dibawakan menjadi alasan kedua kemarahan SBY.
Cakalele merupakan nama tarian perang ala Maluku, yang di yakini mempunyai nilai magis dan spiritual kuat yang menjadi etos perjuangan Kapitan Pattimura saat hendak berhadapan dengan penjajah Belanda. Tujuannya apalagi kalau tidak untuk mengobarkan semangat perang para pengikut Kapitan, saat berjuang dalam menghadapi Belanda. Karena itu, pada setiap tarian Cakalele, selalu ada pemimpin atau Kapitannya.
Nilai magis dan etos kepahlawanan cakalele inilah yang coba dimanfaatkan oleh para penari yang membawa bendera Republik Maluku Selatan sebagai manifesto dan ekpresi kekecewaan mereka terhadap pemerintah. Kesenian adat pengobar semangat perang itupun menjadi kendaraan taktis yang mengantar mereka 'berhadapan' dengan presiden.
Tarian Cakalele boleh kita asumsikan sebagai simbol yang hanya diartikan sebagai seremonial belaka. Namun makna Cakalele yang luhur dan sakral, dapat juga diartikan sebagai sebuah bentuk pernyataan sikap ketika dibawakan oleh sekelompok orang sambil menggusung bendera RMS pada tanggal 29 Juni tersebut.
RMS di mata pendukung fanatiknya
Kenyataan sejarah tidak dapat dipungkiri, bahwa Republik Maluku Selatan (RMS) pernah "hidup" di Ambon (Maluku tengah pada umumnya), walaupun tidak lama. Kenyataan dan fakta sejarah ini merupakan keyakinan dan nilai dasar bagi para aktivisnya untuk membuktikan bahwa RMS "bukanlah gerakan separatis". RMS menurut para pendukungnya, didirikan, "sebelum" negara Kesatuan RI menjadi seperti sekarang ini, dengan wilayah kesatuan dari Sabang sampai Merauke. Semua hasil "perundingan" di dalam berbagai koferensi antara Pemerintah Belanda dan Indonesia seperti "Perjanjian Linggarjati" (25 Maret 1947), "Perjanjian Renville"(1948), "Konferensi Meja Bundar" (November 1949), menurut mereka telah memberikan kemerdekaan penuh bagi Maluku untuk menentukan nasibnya sendiri.
Menurut para Aktivis RMS, hasil pertemuan "Moehamad Roem dan Van Royen" (7 Mei 1949), sebelum Konferensi Meja Bundar, justru memperkuat keputusan Perjanjian Linggarjati dan Renville, dimana kedua pihak, baik pemerintah Belanda dan Indonesia", tidak boleh mencampuri atau mencegah proses penentuan nasib sendiri dari berbagai daerah seperti Maluku, tetapi harus membantu rakyat Maluku didalam menentukan nasibnya sendiri dan di dalam menentukan "jenis hubungan" antara RMS dengan pihak Pemerintah Belanda dan Indonesia di bawah pengawasan Komisi PBB Untuk Indonesia. Inilah kiranya yang menjadi dasar dan spirit perjuangan mereka selama ini.
Pola pendekatan keamanan melalui pengiriman pasukan TNI ke Ambon, pada tanggal 13 Juli 1950, oleh aktivis RMS dianggap sebagai invasi pemerintah indonesia terhadap kedaulatan negera mereka. Meskipun sebelumnya pemerintah telah mengirimkan misi perdamaian yang dipimpin oleh putra-putra Maluku sendiri.
Ketika RMS akhirnya berhasil ditumpas oleh pemerintah Indonesia, sebagian besar warga RMS lalu mengungsi ke Negeri Belanda dan tetap berjuang bagi kembalinya RMS di Ambon. Sedangkan sebagian lagi terdesak ke pedalaman hutan pulau Seram. Dengan tertangkapnya Dr. Chris. Soumokil di Seram, maka dapat dikatakan bahwa RMS sudah lumpuh. Sebagian besar para aktivisnya yang berada di pulau Seram, "turun gunung", dan menyerahkan diri kepada Pemerintah Indonesia. Setelah menjalani hukuman penjara, mereka lalu mengabdi kepada Pemerintah RI seperti menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dll.
Seiring pergantian generasi, RMS praktis dilupakan, sehingga sebagian besar warga Ambon yang sudah mencapai umur 60 tahun malah "belum pernah melihat" macam apa bendera RMS itu, hingga meletusnya konflik Maluku 19 Januari 1999. Bahkan di negeri Belanda, RMS hanya hidup dalam memori generasi angkatan pertama sebagai kenangan masa lalu yang manis sekaligus pahit. Di kalangan muda terutama generasi ketiga, RMS hanya menjadi semacam simbol untuk membedakan mereka dengan kelompok urban lain seperti Maroko dan Turki yang membanjiri negara kincir angin itu.
Ketidakmampuan Pemerintah
Orientasi pembangunan yang hanya dipusatkan di wilayah Indonesia Barat, terbatasnya lapangan pekerjaan dan tingginya angka pengangguran di Maluku juga menjadi semacam titik api yang gampang menyala.
Fenomena tarian cakelele dengan membawa bendera benang raja, sebenarnya lebih merupakan peristiwa pengungkapan kekecewaan terhadap pemerintah daripada sebuah aksi makar. Penyelesaian konflik Maluku yang berlarut-larut dan tidak tuntas, serta buruknya kinerja birokrasi, dipercaya memunculkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat Maluku saat ini.
Beberapa kondisi yang nampak di lapangan saat ini antara lain, tidak tuntasnya penanganan konflik, maraknya praktek korupsi dikalangan pejabat pemerintah dan legislatif daerah serta tingginya angka pengangguran yang mencapai angka 200 ribu lebih jumlah tenaga kerja aktif, telah memunculkan frustasi sosial di tengah masyarakat Maluku.
Pernyataan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu, tentang akan meminta pimpinan eksekutif Front Kedaulatan Maluku(FKM) Alexander Manuputty, diekstradisi dari Amerika Serikat(AS), sepertinya hanya merupakan upaya menutup borok di muka. Karena sesunguhnya permasalahan tidak berujung pada ada tidaknya RMS di Maluku, melainkan mengakar kuat pada buruknya sistem birokrasi yang ada di Maluku saat ini.
Kondisi ini kiranya perlu di cermati secara tepat dan bijak oleh pemerintah pusat sebelum mengambil langkah-langkah represif melalui pendekatan keamanan terhadap para penari cakalele. Karena boleh jadi tarian cakalele di hadapan presiden SBY hanyalah sebuah fenomena gunung es yang mencuat ke permukaan dari besarnya permasalahan sosial yang ada di Maluku.
Sesungguhnya bagi orang Maluku, bergabung dengan Indonesia sudah menjadi keputusan final sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dimana Maluku menjadi provinsi ke delapan dari republik muda belia bernama Indonesia ketika itu.
Akhirnya penulis ingin menyampaikan bahwa upaya-upaya penanganan masalah sosial dan masalah pembangunan di Maluku yang tidak tepat, apalagi dengan menggunakan pendekatan keamanan, hanya akan melahirkan perlawanan yang lebih besar. Semoga Jakarta bisa lebih arif dan bijaksana.
* Penulis adalah penyair dan jurnalis
http://www.hotlinkfiles.com/files/899560_pvuwm/soalan_Pembangunan_di_Maluku.doc
Jan-24-08
Oleh: Dino Umahuk
Sebagaimana diberitakan berbagai media massa, pada acara peringatan Hari Keluarga Nasional yang berlangsung di Lapangan Merdeka Ambon, 18 Juni silam, secara tak terduga sejumlah penari Cakalele membentangkan bendera Benang Raja yang merupakan simbol gerakan Republik Maluku Selatan. Yang membuat heboh, pengibaran itu dilakukan dihadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan juga sejumlah duta besar negara sahabat lainnya.
Presiden Sudilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang disuguhi tarian Cakalele yang berujung pada berkibarnya bendera Benang Raja itu terlihat jelas kemarahannya. Sebelum memulai pidato resminya, dengan raut membuncah, SBY membukanya dengan pidato tanpa teks, ''Kalau ada perbedaan diantara para elite, para pemimpin, para tokoh, janganlah memilih cara-cara yang tidak baik. Kasihan rakyat, kalau lebih dari itu.''
Masih di hadapan ribuan masyarakat Kota Ambon yang hadir, SBY memberi ultimatum, bila tarian Cakalele dinilai menggangu keutuhan NKRI, atas nama institusi, presiden meminta pejabat yang berwenang memberikan tindakan yang tegas dan tepat. ''Ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Keutuhan bangsa dan negara, persatuan dan kesatuan di antara kita semua harus kita junjung tinggi dan kita tegakkan,'' tegasnya
Apa yang membuat SBY kesal? Selain karena berhasil menelikung aparat keamanan yang berujung dengan mempermalukan dirinya, tarian Cakalele yang dibawakan menjadi alasan kedua kemarahan SBY.
Cakalele merupakan nama tarian perang ala Maluku, yang di yakini mempunyai nilai magis dan spiritual kuat yang menjadi etos perjuangan Kapitan Pattimura saat hendak berhadapan dengan penjajah Belanda. Tujuannya apalagi kalau tidak untuk mengobarkan semangat perang para pengikut Kapitan, saat berjuang dalam menghadapi Belanda. Karena itu, pada setiap tarian Cakalele, selalu ada pemimpin atau Kapitannya.
Nilai magis dan etos kepahlawanan cakalele inilah yang coba dimanfaatkan oleh para penari yang membawa bendera Republik Maluku Selatan sebagai manifesto dan ekpresi kekecewaan mereka terhadap pemerintah. Kesenian adat pengobar semangat perang itupun menjadi kendaraan taktis yang mengantar mereka 'berhadapan' dengan presiden.
Tarian Cakalele boleh kita asumsikan sebagai simbol yang hanya diartikan sebagai seremonial belaka. Namun makna Cakalele yang luhur dan sakral, dapat juga diartikan sebagai sebuah bentuk pernyataan sikap ketika dibawakan oleh sekelompok orang sambil menggusung bendera RMS pada tanggal 29 Juni tersebut.
RMS di mata pendukung fanatiknya
Kenyataan sejarah tidak dapat dipungkiri, bahwa Republik Maluku Selatan (RMS) pernah "hidup" di Ambon (Maluku tengah pada umumnya), walaupun tidak lama. Kenyataan dan fakta sejarah ini merupakan keyakinan dan nilai dasar bagi para aktivisnya untuk membuktikan bahwa RMS "bukanlah gerakan separatis". RMS menurut para pendukungnya, didirikan, "sebelum" negara Kesatuan RI menjadi seperti sekarang ini, dengan wilayah kesatuan dari Sabang sampai Merauke. Semua hasil "perundingan" di dalam berbagai koferensi antara Pemerintah Belanda dan Indonesia seperti "Perjanjian Linggarjati" (25 Maret 1947), "Perjanjian Renville"(1948), "Konferensi Meja Bundar" (November 1949), menurut mereka telah memberikan kemerdekaan penuh bagi Maluku untuk menentukan nasibnya sendiri.
Menurut para Aktivis RMS, hasil pertemuan "Moehamad Roem dan Van Royen" (7 Mei 1949), sebelum Konferensi Meja Bundar, justru memperkuat keputusan Perjanjian Linggarjati dan Renville, dimana kedua pihak, baik pemerintah Belanda dan Indonesia", tidak boleh mencampuri atau mencegah proses penentuan nasib sendiri dari berbagai daerah seperti Maluku, tetapi harus membantu rakyat Maluku didalam menentukan nasibnya sendiri dan di dalam menentukan "jenis hubungan" antara RMS dengan pihak Pemerintah Belanda dan Indonesia di bawah pengawasan Komisi PBB Untuk Indonesia. Inilah kiranya yang menjadi dasar dan spirit perjuangan mereka selama ini.
Pola pendekatan keamanan melalui pengiriman pasukan TNI ke Ambon, pada tanggal 13 Juli 1950, oleh aktivis RMS dianggap sebagai invasi pemerintah indonesia terhadap kedaulatan negera mereka. Meskipun sebelumnya pemerintah telah mengirimkan misi perdamaian yang dipimpin oleh putra-putra Maluku sendiri.
Ketika RMS akhirnya berhasil ditumpas oleh pemerintah Indonesia, sebagian besar warga RMS lalu mengungsi ke Negeri Belanda dan tetap berjuang bagi kembalinya RMS di Ambon. Sedangkan sebagian lagi terdesak ke pedalaman hutan pulau Seram. Dengan tertangkapnya Dr. Chris. Soumokil di Seram, maka dapat dikatakan bahwa RMS sudah lumpuh. Sebagian besar para aktivisnya yang berada di pulau Seram, "turun gunung", dan menyerahkan diri kepada Pemerintah Indonesia. Setelah menjalani hukuman penjara, mereka lalu mengabdi kepada Pemerintah RI seperti menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dll.
Seiring pergantian generasi, RMS praktis dilupakan, sehingga sebagian besar warga Ambon yang sudah mencapai umur 60 tahun malah "belum pernah melihat" macam apa bendera RMS itu, hingga meletusnya konflik Maluku 19 Januari 1999. Bahkan di negeri Belanda, RMS hanya hidup dalam memori generasi angkatan pertama sebagai kenangan masa lalu yang manis sekaligus pahit. Di kalangan muda terutama generasi ketiga, RMS hanya menjadi semacam simbol untuk membedakan mereka dengan kelompok urban lain seperti Maroko dan Turki yang membanjiri negara kincir angin itu.
Ketidakmampuan Pemerintah
Orientasi pembangunan yang hanya dipusatkan di wilayah Indonesia Barat, terbatasnya lapangan pekerjaan dan tingginya angka pengangguran di Maluku juga menjadi semacam titik api yang gampang menyala.
Fenomena tarian cakelele dengan membawa bendera benang raja, sebenarnya lebih merupakan peristiwa pengungkapan kekecewaan terhadap pemerintah daripada sebuah aksi makar. Penyelesaian konflik Maluku yang berlarut-larut dan tidak tuntas, serta buruknya kinerja birokrasi, dipercaya memunculkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat Maluku saat ini.
Beberapa kondisi yang nampak di lapangan saat ini antara lain, tidak tuntasnya penanganan konflik, maraknya praktek korupsi dikalangan pejabat pemerintah dan legislatif daerah serta tingginya angka pengangguran yang mencapai angka 200 ribu lebih jumlah tenaga kerja aktif, telah memunculkan frustasi sosial di tengah masyarakat Maluku.
Pernyataan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu, tentang akan meminta pimpinan eksekutif Front Kedaulatan Maluku(FKM) Alexander Manuputty, diekstradisi dari Amerika Serikat(AS), sepertinya hanya merupakan upaya menutup borok di muka. Karena sesunguhnya permasalahan tidak berujung pada ada tidaknya RMS di Maluku, melainkan mengakar kuat pada buruknya sistem birokrasi yang ada di Maluku saat ini.
Kondisi ini kiranya perlu di cermati secara tepat dan bijak oleh pemerintah pusat sebelum mengambil langkah-langkah represif melalui pendekatan keamanan terhadap para penari cakalele. Karena boleh jadi tarian cakalele di hadapan presiden SBY hanyalah sebuah fenomena gunung es yang mencuat ke permukaan dari besarnya permasalahan sosial yang ada di Maluku.
Sesungguhnya bagi orang Maluku, bergabung dengan Indonesia sudah menjadi keputusan final sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dimana Maluku menjadi provinsi ke delapan dari republik muda belia bernama Indonesia ketika itu.
Akhirnya penulis ingin menyampaikan bahwa upaya-upaya penanganan masalah sosial dan masalah pembangunan di Maluku yang tidak tepat, apalagi dengan menggunakan pendekatan keamanan, hanya akan melahirkan perlawanan yang lebih besar. Semoga Jakarta bisa lebih arif dan bijaksana.
* Penulis adalah penyair dan jurnalis
http://www.hotlinkfiles.com/files/899560_pvuwm/soalan_Pembangunan_di_Maluku.doc