Pukat Harimau di Laut Arafuru
Kompas Kamis, 29 Maret 2007
Denpasar, Kompas - Kapal-kapal trawl (pukat harimau) yang beroperasi di Laut Arafuru, Maluku, sangat meresahkan nelayan dengan kapal kayu dan nelayan tradisional. Para pemilik kapal kayu di Benoa, Denpasar, Bali, meminta pemerintah menertibkan kapal pukat harimau. Alasannya, kehadiran kapal trawl menjadi pemicu konflik bahkan bentrokan di tengah laut antara nelayan dan awak pukat.
"Beberapa kali kapal kami sengaja ditabrak saat memancing cumi. Sekali tebar pukat, mereka sikat habis cumi yang sudah berada di sekitar kapal kami. Beberapa kali kami melihat ada kapal patroli aparat, tetapi mereka tak melakukan apa-apa," kata Kasdi Taman, Ketua III DPP Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI), yang juga Presiden Direktur Bandar Nelayan Group, Senin (26/3), di Denpasar.
Menurut catatan Kompas, Laut Arafuru memiliki potensi produksi lestari lebih kurang 770.000 ton ikan per tahun. Kini di perairan itu beroperasi 776 kapal berbendera Indonesia dan 592 kapal berbendera asing dengan total produksi lebih dari 990.000 ton ikan. Sementara itu, kapal ikan ilegal yang beroperasi di perairan yang sama diperkirakan mencapai 700 unit.
Sejak awal tahun ini, menurut Taman, sudah lebih dari 20 kali peristiwa saling senggol kapal trawl terhadap kapal kayu. Kasus terakhir terjadi saat hari raya Nyepi, pekan lalu.
Sekretaris Jenderal DPP ATLI Dwi Agus Siswa Putra mengungkapkan, Februari lalu pihaknya telah melaporkan hal itu langsung ke Kantor Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) di Jakarta. Namun, hingga kini belum ada tanggapan. "Pihak DKP berjanji meminta keterangan pemilik kapal atau si pelapor, tetapi belum juga dilakukan," kata Dwi Agus. Taman juga mengungkapkan, sekitar 1.200 dari total 1.500 kapal penangkap tuna di Tanah Air diperkirakan bangkrut sejak kenaikan harga solar untuk industri tahun 2005. Kerugian para pemilik kapal berlipat karena harga jual kapal mereka anjlok di pasaran, dari Rp 1 miliar sampai Rp 2 miliar menjadi Rp 200 juta sampai Rp 300 juta saja. (BEN)
http://www.kompas.com/kompascetak/ 0703/27/daerah/3412188.htm
Kompas Kamis, 29 Maret 2007
Denpasar, Kompas - Kapal-kapal trawl (pukat harimau) yang beroperasi di Laut Arafuru, Maluku, sangat meresahkan nelayan dengan kapal kayu dan nelayan tradisional. Para pemilik kapal kayu di Benoa, Denpasar, Bali, meminta pemerintah menertibkan kapal pukat harimau. Alasannya, kehadiran kapal trawl menjadi pemicu konflik bahkan bentrokan di tengah laut antara nelayan dan awak pukat.
"Beberapa kali kapal kami sengaja ditabrak saat memancing cumi. Sekali tebar pukat, mereka sikat habis cumi yang sudah berada di sekitar kapal kami. Beberapa kali kami melihat ada kapal patroli aparat, tetapi mereka tak melakukan apa-apa," kata Kasdi Taman, Ketua III DPP Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI), yang juga Presiden Direktur Bandar Nelayan Group, Senin (26/3), di Denpasar.
Menurut catatan Kompas, Laut Arafuru memiliki potensi produksi lestari lebih kurang 770.000 ton ikan per tahun. Kini di perairan itu beroperasi 776 kapal berbendera Indonesia dan 592 kapal berbendera asing dengan total produksi lebih dari 990.000 ton ikan. Sementara itu, kapal ikan ilegal yang beroperasi di perairan yang sama diperkirakan mencapai 700 unit.
Sejak awal tahun ini, menurut Taman, sudah lebih dari 20 kali peristiwa saling senggol kapal trawl terhadap kapal kayu. Kasus terakhir terjadi saat hari raya Nyepi, pekan lalu.
Sekretaris Jenderal DPP ATLI Dwi Agus Siswa Putra mengungkapkan, Februari lalu pihaknya telah melaporkan hal itu langsung ke Kantor Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) di Jakarta. Namun, hingga kini belum ada tanggapan. "Pihak DKP berjanji meminta keterangan pemilik kapal atau si pelapor, tetapi belum juga dilakukan," kata Dwi Agus. Taman juga mengungkapkan, sekitar 1.200 dari total 1.500 kapal penangkap tuna di Tanah Air diperkirakan bangkrut sejak kenaikan harga solar untuk industri tahun 2005. Kerugian para pemilik kapal berlipat karena harga jual kapal mereka anjlok di pasaran, dari Rp 1 miliar sampai Rp 2 miliar menjadi Rp 200 juta sampai Rp 300 juta saja. (BEN)
http://www.kompas.com/kompascetak/ 0703/27/daerah/3412188.htm
Seram Butuh Pintu-pintu Ekspor
KOMPAS Selasa, 23 Januari 2007
Ambon, Kompas - Percepatan pertumbuhan ekonomi di Pulau Seram, Provinsi Maluku, menuntut pembukaan pintu-pintu keluar untuk memotong jalur tata niaga yang panjang lewat Pelabuhan Ambon. Satu-satunya pintu keluar lewat Pelabuhan Ambon selama ini dinilai sangat menghambat pertumbuhan perekonomian di Seram karena biaya tinggi dan tidak efisien.
Pembangunan pintu-pintu niaga keluar dari Seram tersebut menjadi salah satu rencana Badan Pengelola Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (BP Kapet)
Seram.
"Selama ini Seram tidak memiliki pintu ekspor sehingga selisih harga jual di sentra produksi dan sentra pemasaran sangat tinggi. Misalnya, di Seram Bagian Timur harga tiga butir kelapa hanya Rp 1.000, setelah tiba di Ambon bisa Rp 2.500 per butir. Cengkeh di Seram Rp 20.000 per kg, tetapi setelah tiba di Ambon menjadi Rp50.000," kata Benny Turukay, Direktur Perencanaan BP Kapet Seram, Senin (22/1).
Sebaliknya, barang-barang industri yang didatangkan dari luar Maluku harganya tinggi karena harus transit dulu di Ambon kemudian baru dikirim ke Seram. "Apabila pemerintah serius mengembangkan Seram sebagai pusat perekonomian, pintu-pintu keluar itu harus segera dibuka," tutur Benny.
Seram berada di jalur yang strategis karena dekat dengan jalur perdagangan internasional Akli-3. Jalur ini dilewati oleh kapal-kapal niaga dari Filipina, Jepang, dan negara-negara Uni Eropa menuju Makassar sebelum masuk Jakarta.
Berdasarkan studi kelayakan yang dilakukan Badan Pengelola Kapet Seram, ada empat lokasi yang potensial menjadi pintu keluar. Lokasi pertama adalah Teluk Waru, Kecamatan Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur. Lokasi kedua di Teluk Kawa, Kecamatan Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat. Lokasi ketiga di Teluk Makariki, Kabupaten Maluku Tengah, dan lokasi keempat di Kobisadar, Seram Utara.
Selain pintu keluar, hambatan lainnya, menurut Direktur Administrasi Umum BP Kapet Seram Samlatu Hamalo, adalah minimnya infrastruktur, yaitu jalan, pelabuhan, lapangan udara, sumber listrik, dan jaringan komunikasi.
"Banyak investor yang datang dan survei lokasi, tetapi hanya sedikit yang kembali dan menanamkan modalnya," katanya. Beberapa sektor yang sudah dilirik investor tetapi realisasinya tertunda adalah
tambang emas dan kelapa sawit seluas 50.000 hektar di Seram Bagian Timur serta pertanian dan galangan kapal di Seram Bagian Barat. Saat ini, lanjut Samlatu, investor yang masuk masih terbatas pada perikanan tangkap dan budidaya. (ang)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS