Praktek 'Illegal Fishing' Marak
Monday, 21 February 2011Jadi
Perhatian FP4N, Gubernur dan DPRD
Ambon - Laut Arafura, Laut Banda, Laut Aru merupakan kawasan laut yang berada di perairan Maluku, dan memiliki sumber daya alam yang memiliki potensi besar. Bahkan Laut Arafura merupakan fishing ground terbaik kedua di dunia, setelah Afrika Selatan, Hal ini yang menyebabkan laut ini menjadi surge bagi para pengusaha perikanan di dunia, khususnya China dan Thailand dan tidak menutup kemungkinan terjadinya praktek illegal fishing dan
lainnya.
Yang sangat disayangkan, para investor ini hanya bertujuan untuk mengeruk keuntungan semata, tanpa pernah berkeinginan untuk mensejahterakan masyarakat Maluku maupun Papua.
Tingginya praktek illegal fishing yang menyebabkan Negara mengalami kerugian hingga trilyunan rupiah, menjadi motivasi awal sejumlah wartawan di Maluku bersepakat membentuk Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional (FP4N).
FP4N yang diketuai Ivan Rishky Kaya, dideklarasikan pada 28 Desember 2010. Kepada wartawan di Ambon, Minggu (21/2), Kaya menjelaskan, sebelum forum ini terbentuk, dia dan beberapa rekannya telah mengunjungi beberapa daerah yang
memiliki potensi perikanan besar di kawasan timur Indonesia, untuk mendapat data riil perikanan di kawasan ini.
"Sejak September 2010, saya dan beberapa rekan jurnalis telah melakukan liputan ke Kota Tual, Benjina-Dobo, Merauke dan Ambon.
Tujuan kami agar mendapat data resmi dan riil ke daerah-daerah tersebut," ungkap Kaya.
Kaya mengungkapkan, saat mengunjungi Kota Tual, tim dari FP4N yang diketuai langsung oleh Ivan Rishky Kaya mengunjungi PT.
Maritim Timur Jaya (MTJ) yang tergabung dalam Artha Graha Group milik pengusaha Nasional, Tomy Winata yang telah berdiri sejak 1996, berlokasi di Desa Ngadi, Kota Tual.
"Ternyata, perusahaan yang berdiri diatas lahan 149 hektar dan baru terpakai sekitar 9 hektar, sementara mengembangkan
kawasannya dengan menambah investor walaupun PT. MTJ hanya memiliki 18 buah kapal penangkap ikan, dengan kapasitas berkisar 100 hingga 150 GT," jelas Kaya.
Selain itu, lanjut Kaya, PT. MTJ saat ini tidak hanya bekerjasama dengan investor dari China, tetapi sudah membangun komunikasi dengan beberapa investor Thailand, bahkan kedepan, perusahaan ini akan bekerjasama dengan investor dari Korea dan Myanmar.
"Jika dibandingkan dengan perusahaan perikanan lainnya di Indonesia, PT. MTJ merupakan perusahaan yang memiliki industri nyata dan berdiri di atas area terbesar, tetapi memiliki jumlah kapal yang sangat sedikit," bebernya.
Lebih lanjut Kaya menjelaskan, walau dengan kondisi demikian, PT. MTJ
merupakan satu-satunya perusahaan perikanan yang memiliki kegiatan industri
perikanan yang nyata, dan bukan akal-akalan.
"Buktinya PT. MTJ tidak hanya memiliki cold
strorage dan mengekspor ikan utuh, tetapi industri perikanannya juga memproduksi
pengolaan bakso ikan dan tepung ikan berlebelkan PT. MTJ yang berlokasi di Kota
Tual. Selain itu PT. MTJ juga memiliki kegiatan budi daya ikan," tegas
Kaya.
Sementara itu, salah
satu Direktur PT. MTJ, Rumy Kresna Wibowo mengatakan, PT. MTJ selama ini tetap
konsisten dalam pembangunan industri perikanan yang nyata, ada wujudnya, nampak
batang tubuhnya, dapat disentuh jiwa raganya, ada yang menikmati hasilnya, yakni
masyarakat yang bekerja dan Pemerintah sebagai mitra PT. MTJ, dalam pemberdayaan
nelayan, pendapatan Negara dari retribusi dan lainnya.
"Dengan hanya
memiliki 18 buah kapal, saat ini PT. Maritim Timur Jaya bisa mempekerjakan 590
tenaga kerja. Dari 590 tenaga kerja, 220 orang bekerja di industri perikanan (unit
produksi), 150 di kantor dan 228 orang menjadi Anak Buah Kapal
(ABK).
Ke depan MTJ merencanakan akan menambah armada
penangkapannya. "Kami menargetkan akan memiliki 450 kapal penangkap ikan, agar
dapat memenuhi kebutuhan produksi per harinya,"
ujarnya.
Sebagai perusahaan yang berbasis industri, kata
Rumy, PT. MTJ tidak hanya mengandalkan unit penangkapan ikannya saja, tetapi
perusahaan ini juga bermitra dengan lebih dari 500 nelayan, untuk membeli hasil
tangkapan mereka. Bahkan ikan teri yang ditangkap nelayan, dijual ke PT.
MTJ.
Keberadaan PT. MTJ menjadi kebanggaan tersendiri
bagi Indonesia, karena di tengah merajanya China dan Thailand menguasai pasaran
ikan dunia, namun ikan yang ditangkapnya berasal dari perairan Indonesia, PT.
MTJ merupakan satu-satunya perusahaan industri perikanan yang bisa dibanggakan
bangsa ini, karena memiliki produksi dengan label namanya
sendiri.
Bahkan pada akhir Juli 2010, Menteri Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia, Fadel Muhammad telah meresmikan areal PT. MTJ
sebagai kawasan minapolitan terpadu. Pencanangan ini merupakan suatu pengakuan
keberadaan perusahaan tersebut.
Walaupun merupakan satu-satunya industri perikanan di Indonesia, PT.
Maritim
Timur Jaya tidak memperoleh kemudahan apapun dari pihak pemerintah.
PPN Dumar
Sebelum Kepolisian Daerah (Polda) Maluku di bawah komando
Brigadir Jenderal Polisi Mudji Waluyo gencar melaksanakan operasi illegal
fishing, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Dumar-Kota Tual memiliki kurang
lebih 300 kapal penangkap ikan, dengan volume ekspor per tahunnya sekitar
151.000,- ton.
Namun sejak tahun 2008, aktivitas ekspor baik itu, ikan, udang,
cumi dari Pelabuhan Perikanan Nusantara Dumar-Kota Tual hanya mencapai 120.000,-
ton pertahun. Sedangkan penyebab menurunnya ekspor dari Pelabuhan Perikanan
Nusantara Dumar-Kota Tual tidak diketahui secara pasti kenapa sampai demikian,
namun diprediksikan bahwa dengan ketatnya operasi pemberantasan illegal fishing
oleh Polda Maluku tahun 2008, membuat para mafia perikanan takut menyinggahi
pelabuhan tersebut.
Bahkan saat ini 300-an kapal tersebut tidak lagi kelihatan masuk
atau menyinggahi Pelabuhan Perikanan Nusantara Dumar-Kota Tual, lantaran semua
kapal tersebut sudah berpindah lokasi bongkarnya ke Pelabuhan Perikanan
Nusantara Tantui-Kota Ambon, bahkan ada yang pindah ke Kabupaten Merauke yang
lebih dekat dengan Fishing Ground, yakni Laut
Arafura.
Saat mengunjungi Pelabuhan Perikanan Nusantara Dumar-Kota Tual,
FP4N tidak melihat adanya aktivitas bongkar muat untuk kemudian diekspor keluar
negeri. Yang ada di Pelabuhan Perikanan Nusantara Dumar-Kota Tual tersebut,
hanya terlihat + 10 kapal penangkap yang terjaring operasi pemberantasan illegal
fishing pada tahun 2008 silam dan boleh dikatakan sudah menjadi besi tua (barang
rongsokkan).
Menurut Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Dumar-Kota Tual,
Drs. Jantje Patty, saat ini mereka (Pihak Pelabuhan Perikanan Nusantara
Dumar-Kota Tual) hanya mengurusi eksport PT. Maritim Timur Jaya yang berlokasi
di Desa Ngadi Kota Tual.
Sementara itu, Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya hanya menyayangkan
apa yang terjadi saat ini di PPN Dumar, Kota Tual di mana sebelum adanya operasi
pemberantasan illegal fishing tahun 2008, PPN Dumar memiliki 300-an kapal
penangkap ikan dengan volume ekspor kurang lebih 151.000 ton per
tahunnya.
PT. PBR
Hal yang sama juga di PT. Pusaka Benjina Resources (PBR), yang
terletak di Pulau Maikoor, Kecamatan Benjina Kabupaten Kepulauan Aru dengan luas
areal + 70 hektar yang dibeli dari PT. Djayanti Group ini merupakan perusahaan
milik pengusaha Tex Suryajaya, yang bekerjasama dengan pengusaha
Thailand.
Jika ditempuh dari Ibukota Kabupaten Kepulauan Aru, yakni Kota
Dobo, dengan menggunakan transportasi laut, yakni speedboat, memerlukan waktu 1
(satu) jam untuk sampai ke perusahaan tersebut.
Ketika sampai diareal PT. Pusaka Benjina Resources, FP4N
langsung menemui Site Manager PT. Pusaka Benjina Resources, Herman Martino.
Dalam pertemuan tersebut, dirinya mengatakan, Perusahaan ini (PT. Pusaka Benjina
Resources) diresmikan pada Juni 2007, oleh Presiden RI, Susilo Bambang
Yudhoyono, yang dilakukan melalui teleconference dari Ambon (sehari sebelum
pembukaan Harganas di Ambon).
Sebelum membuka usahanya di Benjina, PT. Pusaka Benjina
Resources telah memiliki usaha penangkapan ikan di Tual, Merauke dan Ambon.
Tetapi sejak adanya Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor 17 tahun 2006, maka PT. Pusaka Benjina Resources dengan
dibantu Departeman Kelautan dan Perikanan (Sekarang Kementrian Kelautan dan
Perikanan-red), memilih Benjina sebagai home based.
Dengan + 70 kapal, PT. Pusaka Benjina Resources (PBR) memulai
aktivitasnya di areal bekas PT. DJayanti Group tersebut. Tetapi baru berjalan
beberapa saat, kapal-kapal yang diakui milik PT. Pusaka Benjina Resources,
terjaring razia oleh Polda Maluku, yang sangat giat memberantas illegal fishing.
Lebih lanjut Herman Martino menambahkan, Kapal-kapal milik PT. Pusaka Benjina
Resources yang lolos dari penangkapan tersebut dikarenakan ada yang melarikan
diri ke Merauke, ada pula yang malah kembali ke
Thailand.
Terjaringnya kapal-kapal "milik" PT. PBR tersebut oleh Polda Maluku,
karena perusahan ini kedapatan mempekerjakan Anak Buah Kapal (ABK) berkebangsaan
Thailand yang saat itu berjumlah sekitar 2684 orang, tanpa izin kerja
sebagaimana yang diatur undang-undang ketenagakerjaan RI.
Bahkan yang lebih miris lagi, mereka juga
melakukan transshipment di tengah laut (dekat perbatasan). Sebelum melakukan
transshipment, para ABK Indonesia malah disuruh pindah ke kapal lain, dengan
cara melompat dari kapal tersebut, kemudian berenang ke kapal yang lain.
Sedangkan para ABK asal Thailand tetap berada di
kapal.
Tidak hanya melakukan transshipment, tetapi juga pembelian BBM
ilegal, di mana mereka membeli solar atau BBM dengan harga subsidi, bukan dengan
harga semestinya bagi sebuah industri.
Sejumlah kapal "milik" PT. PBR yang melarikan diri saat operasi yang
dilakukan Polda Maluku ke Thailand ketika diminta untuk diekstradisi ke
Indonesia untuk mengikuti persidangan, menolak kembali dengan alasan, kapal
tersebut milik pengusaha Thailand, dan bukan milik PT. PBR. Jadi
selama ini mereka mengelabui aparat keamanan di laut, dengan memakai bendera
Indonesia, agar disangka kapal Indonesia.
Setelah aparat keamanan mulai mengendor, pada Maret 2008 hingga
Agustus 2008, kapal-kapal milik PT. PBR yang mayoritas menggunakan nama KM.
Antasena ini mulai beroperasi lagi.
Saat Polda Maluku di bawah kepemimpinan Brigadir
Jenderal Polisi Mudji Waluyo, operasi pemberantasan illegal fishing dengan nama
Jaring 2008 kembali dilakukan. Saat itu, beberapa kapal-kapal milik PT. PBR,
yang bernama KM Antasena 810, KM Antasena 829, KM Antasena 836 dan KM Antasena
806, ikut terjaring operasi tersebut.
Bahkan pelanggaran yang dilakukan kapal-kapal
milik PT. PBR pun sama, yakni mempekerjakan ABK asal Thailand tanpa mempunyai
ijin yang sah dari instansi terkait. Bukan hanya itu, dari operasi tersebut,
ditemukan pukat harimau, yang dapat merusak konservasi
laut.
Karena gencarnya Polda Maluku memerangi illegal
fishing, membuat ratusan kapal melarikan diri dari Benjina. Ada yang ke Merauke,
Menado bahkan ada yang kembali ke Thailand. Dan hal itu membuat aktivitas PT.
PBR lumpuh total dan para karyawan terpaksa
dirumahkan.
Site Manager PT. PBR, Herman Martino juga
mengatakan, kapal-kapal tersebut sepenuhnya milik mereka, hanya saja
pembayarannya secara "cicil" atau kredit. Sehingga surat-surat yang mereka
miliki juga lengkap. Tetapi yang mengherankan, jika kapal tersebut milik mereka,
mengapa bisa terjaring razia yang dilakukan Polda
Maluku.
Ketika FP4N mengkonfirmasi pernyataan Herman
Martino ke salah satu penyidik dari Polda Maluku, yang ikut menyidik pelanggaran
yang dilakukan kapal-kapal milik PT. PBR dirinya mengatakan, banyak pelanggaran
yang telah dilakukan oleh PT. PBR, sehingga kapal-kapal mereka ditangkap.
Penyidik yang tidak mau disebutkan namanya itu
mengatakan, jika PT. PBR memiliki surat-surat yang sah dan tidak melakukan
pelanggaran, maka kapal-kapal PT. PBR pasti tidak akan melarikan diri dari
Benjina. Karena melakukan pelanggaran, makanya mereka takut dan akhirnya
melarikan diri.
Setelah Brigadir Jenderal Polisi Mudji Waluyo
digantikan Brigadir Jenderal Polisi Totoy Hermawan Indra, pemberantasan illegal
fishing tidak terdengar lagi. Entah mengapa sampai hal itu tidak terjadi lagi.
Dari situlah PT. PBR mulai bangkit dan beroperasi kembali pada Maret 2009 hingga
saat ini. PT. PBR mulai beroperasi lagi dengan + 70 kapal penangkap ikan di
atas 100-400 GT dan 5 buah kapal tramper.
Area penangkapan dari kapal-kapal milik PT. PBR, yakni di sekitar Laut
Arafura dan Laut Aru. Setiap harinya sekitar 5-10 kapal melakukan bongkar muat
di pelabuhan PT. Pusaka
Benjina Resources. Bahkan setiap bulannya PT. Pusaka Benjina Resources
mengekspor ikan beku ke Thailand + 6000-7000 ton. Di mana ekspor ikan tersebut
Ekspor tersebut menggunakan kapal pengangkut bernama Silver Sea Line yang
merupakan milik perusahaan Thailand.
Ketika ditanya mengapa PT. PBR tidak membangun industri
pengolahan ikan? Site Manager PT. PBR, Herman Martino mengatakan, pabrik surimi
milik Djayanti Group, sudah rusak dan karatan, dan tidak layak pakai.
Menurutnya Pengolahan surimi butuh tenaga ahli yang baik,
sehinga mereka hanya membenahi fasilitas yang ada, karena sudah berusia 25
tahun.
Menurut Herman Martino, retribusi yang dibayar pihak PT. PBR ke
Pemerintah Daerah Provinsi Maluku setiap kali pengapalan berkisar Rp
60-100.000.000,-. Saat ini PT. PBR memiliki 186 karyawan, dan 150 ABK asal
Indonesia. Sedangkan untuk biaya makan karyawan, setiap bulannya PT. Pusaka
Benjina Resources membayar sekitar Rp 60.000.000,- juta kepada empat rumah makan
yang ada di lingkungan kantor.
Melihat banyaknya kapal yang dimiliki PT. PBR dan luasnya
kawasan yang dimilikinya, Kaya mengatakan, dirinya berharap PBR bisa membangun
industry nyata, bukan hanya sekedar memiliki cold
storage.
Kaya juga berharap pengalaman masa lalu dimana kapal-kapal
miliki PT. PBR yang terjaring razia Polda Maluku, tidak terulang lagi. "Dari
data yang kami miliki, saat operasi illegal fishing besar-besaran di tahun 2008,
banyak kapal perusahaan tersebut yang terjaring, kami berharap agar saat ini
mereka jangan lagi bermain ilegal termasuk illegal lisence. Kami berharap mereka
menjadi perusahaan yang mengikuti aturan main sesuai apa yang diamanatkan dalam
regulasi perikanan," tegas Kaya.
Dirinya juga menyayangkan adanya penangkapan ikan di laut Aru
oleh kapal-kapal PBR. "Saat liputan ke Benjina, dalam perjalanan dengan speed
boat, saya melihat ada beberapa kapal penangkap ikan yang diduga milik PT. PBR,
malah melakukan penangkapan ikan di laut Aru. Padahal laut Aru merupakan laut
konservasi," jelasnya.
Sementara itu, Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya menengaskan bahwa
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI harus secepat mungkin mengembalikan
kapal pengawas perikanan yang sudah ditarik dari Merauke ke Sulawesi Utara.
"Jika tidak secepat mungkin KKP melalui Dirjen Pengawasan mengembalikan kapal
pengawas yang dulunya melakukan pengawasan di Laut Arafura ke Merauke, maka
sampai kapan Laut Arafura tidak diawasi?," tandas
Kaya.
Kaya juga menjelaskan, jika tidak ada kapal pengawas, apakah
tidak terjadi pencurian hasil laut di laut Arafura? "Inikan sangat tidak masuk
akal, masa Laut Arafura yang menjadi primadona dari pengusaha perikanan, tidak
ada kapal pengawas dari KKP? Terus pengawasannya bagaimana? Jangan-jangan kapal
pengawas perikanan ini sengaja ditarik ke Sulawesi Utara karena ada Hubungan
Spesial antara pelaku illegal fishing dengan oknum-oknum tertentu di KKP," cetus
Kaya.
Gubernur-DPRD Dukung
Kehadiran Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional
(FP4N), yang dideklarasikan pada 28 Desember 2010, mendapat dukungan dari
Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu dan DPRD Maluku, khususnya Komisi B yang
membawahi Perikanan.
Dukungan DPRD Maluku terlihat saat menerima FP4N pada Kamis
(17/2 ), di ruang Komisi B DPRD Maluku di bawah pimpinan Melkias
Frans.
Pada pertemuan tersebut, FP4N menyerahkan rekomendasi kepada Komisi B
DPRD Maluku. Komisi B DPRD Maluku, mendukung pola kerja FP4N yang menyoroti
berbagai dugaan pelanggaran perikanan di Indonesia, khususnya Indonesia
Timur.
"Makanya sebelum diserahkan ke Menteri Kelautan
dan Perikanan dalam bentuk sebuah rekomendasi, kami minta data itu dilengkapi
penyajian informasinya sesuai fakta lapangan dan segala bentuk pelanggaran
secara jelas," kata Ketua Komisi B, Melky Frans, di
Ambon
Wakil Ketua komisi, Andreas Taborat dan
Sekretaris komisi, La Ode Salimin mengatakan, kasus yang diangkat FP4N ini akan
menjadi masukan bagi legislatif dan eksekutif dalam menyikapi pembangunan
perikanan di Maluku, sehingga data kasus yang dijadikan rekomendasi harus lebih
dipertajam.
Anggota komisi lainnya, Everd Kermite
mengatakan, langkah yang diambil FP4N sangat positif dan komisi mendukungnya,
tapi diusulkan dalam mempermudah Menteri Kelautan dan Perikanan mengenal persis
permasalahan di Maluku, forum ini menulis data-data secara
konkrit.
Sementara itu menurut Ketua FP4N, Ivan Rishky
Kaya dalam rapat dengar pendapat dengan komisi menjelaskan, rekomendasi forum
ini memuat 11 butir pernyataan penting berdasarkan hasil liputan di beberapa
daerah.
Rekomendasi dibuat berdasarkan hasil liputan yang dilakukan FP4N kebeberapa daerah, antara lain Ambon, Tual, Benjina dan
Merauke.
Kaya mengatakan, pihaknya sudah memiliki data yang lengkap dan terperinci mengenai indikasi pelanggaran perikanan yang
dilakukan para pengusaha perikanan di Maluku.
"Data-data resmi dan wawancara yang kami lakukan inilah yang kemudian dianalisa, dan kemudian lahirlah rekomendasi ini," ungkap
Kaya.
Rencananya rekomendasi yang berisikan 11 butir pernyataan dan tuntutan yang akan disampaikan ke Menteri Kelautan dan Perikanan, tembusannya akan disampaikan kepada Presiden RI, Menkopolhukam, Jaksa Agung, DPR RI, DPD RI, KPK, ICW dan lembagai terkait
lainnya.
Pernyataan yang tertuang dalam rekomendasi itu antara lain mendesak pemerintah menarik kembali atau memperketat pemberian Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) kepada perusahan nasional dan asing yang ditengarai melakukan praktek Illegal License khususnya di Indonesia timur.
Forum juga minta pemerintah memperketat pengawasan seluruh pelabuhan perikanan milik pemerintah yang selama ini menjadi
basis operasi perusahaan tersebut dan meminta segera meminimalisir kerugian negara yang diperkirakan mencapai triliunan rupiah setiap tahun, akibat pemberian izin yang tidak berbasis industri perikanan.
FP4N juga mendesak pemerintah dan legislatif merevisi berbagai peraturan perikanan yang bertujuan menyeimbangkan fungsi
pengawasan antara pusat dan daerah, sehingga memperkecil tingkat kejahatan illegal fishing dan illegal license, terutama di daerah yang menjadi pusat penangkapan atau fishing ground.
Bertemu Tim Provinsi Kepulauan
Selain DPRD Maluku, FP4N juga memberikan rekomendasi kepada Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu.
Pemerintah Provinsi kemudian menyikapinya dengan mengundang FP4N untuk bertemu dengan tim provinsi kepulauan.
Pada kesempatan tersebut Tim Provinsi Kepulauan mengapresiasi positif temuan yang didapati FP4N.
Salah satu anggota Tim Provinsi Kepulauan menyatakan, sejak tahun 1998, di dalam GBHN telah tertuang bahwa Pemerintah Pusat telah menetapkan Kawasan Indonesia Timur menjadi pusat perikanan tangkap.
Hal ini dikarenakan potensi sumber daya alam yang cukup besar di laut Arafura, Laut Banda, Laut Seram, Teluk Tomini.
Oleh karena itu apa yang dihasilkan FP4N merupakan awal yang baik untuk mendukung kawasan timur Indonesia sebagai sentra industri perikanan.Pada kesempatan tersebut, Ketua FP4N juga menjelaskan, dari semua perusahaan atau daerah yang dikunjungi FP4N, hanya didapati satu perusahaan yang memiliki industri nyata, bukan akal-akalan.
(S-19)
http://www.siwalimanews.com/post/praktek_illegal_fishing_marak
lainnya.
Yang sangat disayangkan, para investor ini hanya bertujuan untuk mengeruk keuntungan semata, tanpa pernah berkeinginan untuk mensejahterakan masyarakat Maluku maupun Papua.
Tingginya praktek illegal fishing yang menyebabkan Negara mengalami kerugian hingga trilyunan rupiah, menjadi motivasi awal sejumlah wartawan di Maluku bersepakat membentuk Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional (FP4N).
FP4N yang diketuai Ivan Rishky Kaya, dideklarasikan pada 28 Desember 2010. Kepada wartawan di Ambon, Minggu (21/2), Kaya menjelaskan, sebelum forum ini terbentuk, dia dan beberapa rekannya telah mengunjungi beberapa daerah yang
memiliki potensi perikanan besar di kawasan timur Indonesia, untuk mendapat data riil perikanan di kawasan ini.
"Sejak September 2010, saya dan beberapa rekan jurnalis telah melakukan liputan ke Kota Tual, Benjina-Dobo, Merauke dan Ambon.
Tujuan kami agar mendapat data resmi dan riil ke daerah-daerah tersebut," ungkap Kaya.
Kaya mengungkapkan, saat mengunjungi Kota Tual, tim dari FP4N yang diketuai langsung oleh Ivan Rishky Kaya mengunjungi PT.
Maritim Timur Jaya (MTJ) yang tergabung dalam Artha Graha Group milik pengusaha Nasional, Tomy Winata yang telah berdiri sejak 1996, berlokasi di Desa Ngadi, Kota Tual.
"Ternyata, perusahaan yang berdiri diatas lahan 149 hektar dan baru terpakai sekitar 9 hektar, sementara mengembangkan
kawasannya dengan menambah investor walaupun PT. MTJ hanya memiliki 18 buah kapal penangkap ikan, dengan kapasitas berkisar 100 hingga 150 GT," jelas Kaya.
Selain itu, lanjut Kaya, PT. MTJ saat ini tidak hanya bekerjasama dengan investor dari China, tetapi sudah membangun komunikasi dengan beberapa investor Thailand, bahkan kedepan, perusahaan ini akan bekerjasama dengan investor dari Korea dan Myanmar.
"Jika dibandingkan dengan perusahaan perikanan lainnya di Indonesia, PT. MTJ merupakan perusahaan yang memiliki industri nyata dan berdiri di atas area terbesar, tetapi memiliki jumlah kapal yang sangat sedikit," bebernya.
Lebih lanjut Kaya menjelaskan, walau dengan kondisi demikian, PT. MTJ
merupakan satu-satunya perusahaan perikanan yang memiliki kegiatan industri
perikanan yang nyata, dan bukan akal-akalan.
"Buktinya PT. MTJ tidak hanya memiliki cold
strorage dan mengekspor ikan utuh, tetapi industri perikanannya juga memproduksi
pengolaan bakso ikan dan tepung ikan berlebelkan PT. MTJ yang berlokasi di Kota
Tual. Selain itu PT. MTJ juga memiliki kegiatan budi daya ikan," tegas
Kaya.
Sementara itu, salah
satu Direktur PT. MTJ, Rumy Kresna Wibowo mengatakan, PT. MTJ selama ini tetap
konsisten dalam pembangunan industri perikanan yang nyata, ada wujudnya, nampak
batang tubuhnya, dapat disentuh jiwa raganya, ada yang menikmati hasilnya, yakni
masyarakat yang bekerja dan Pemerintah sebagai mitra PT. MTJ, dalam pemberdayaan
nelayan, pendapatan Negara dari retribusi dan lainnya.
"Dengan hanya
memiliki 18 buah kapal, saat ini PT. Maritim Timur Jaya bisa mempekerjakan 590
tenaga kerja. Dari 590 tenaga kerja, 220 orang bekerja di industri perikanan (unit
produksi), 150 di kantor dan 228 orang menjadi Anak Buah Kapal
(ABK).
Ke depan MTJ merencanakan akan menambah armada
penangkapannya. "Kami menargetkan akan memiliki 450 kapal penangkap ikan, agar
dapat memenuhi kebutuhan produksi per harinya,"
ujarnya.
Sebagai perusahaan yang berbasis industri, kata
Rumy, PT. MTJ tidak hanya mengandalkan unit penangkapan ikannya saja, tetapi
perusahaan ini juga bermitra dengan lebih dari 500 nelayan, untuk membeli hasil
tangkapan mereka. Bahkan ikan teri yang ditangkap nelayan, dijual ke PT.
MTJ.
Keberadaan PT. MTJ menjadi kebanggaan tersendiri
bagi Indonesia, karena di tengah merajanya China dan Thailand menguasai pasaran
ikan dunia, namun ikan yang ditangkapnya berasal dari perairan Indonesia, PT.
MTJ merupakan satu-satunya perusahaan industri perikanan yang bisa dibanggakan
bangsa ini, karena memiliki produksi dengan label namanya
sendiri.
Bahkan pada akhir Juli 2010, Menteri Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia, Fadel Muhammad telah meresmikan areal PT. MTJ
sebagai kawasan minapolitan terpadu. Pencanangan ini merupakan suatu pengakuan
keberadaan perusahaan tersebut.
Walaupun merupakan satu-satunya industri perikanan di Indonesia, PT.
Maritim
Timur Jaya tidak memperoleh kemudahan apapun dari pihak pemerintah.
PPN Dumar
Sebelum Kepolisian Daerah (Polda) Maluku di bawah komando
Brigadir Jenderal Polisi Mudji Waluyo gencar melaksanakan operasi illegal
fishing, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Dumar-Kota Tual memiliki kurang
lebih 300 kapal penangkap ikan, dengan volume ekspor per tahunnya sekitar
151.000,- ton.
Namun sejak tahun 2008, aktivitas ekspor baik itu, ikan, udang,
cumi dari Pelabuhan Perikanan Nusantara Dumar-Kota Tual hanya mencapai 120.000,-
ton pertahun. Sedangkan penyebab menurunnya ekspor dari Pelabuhan Perikanan
Nusantara Dumar-Kota Tual tidak diketahui secara pasti kenapa sampai demikian,
namun diprediksikan bahwa dengan ketatnya operasi pemberantasan illegal fishing
oleh Polda Maluku tahun 2008, membuat para mafia perikanan takut menyinggahi
pelabuhan tersebut.
Bahkan saat ini 300-an kapal tersebut tidak lagi kelihatan masuk
atau menyinggahi Pelabuhan Perikanan Nusantara Dumar-Kota Tual, lantaran semua
kapal tersebut sudah berpindah lokasi bongkarnya ke Pelabuhan Perikanan
Nusantara Tantui-Kota Ambon, bahkan ada yang pindah ke Kabupaten Merauke yang
lebih dekat dengan Fishing Ground, yakni Laut
Arafura.
Saat mengunjungi Pelabuhan Perikanan Nusantara Dumar-Kota Tual,
FP4N tidak melihat adanya aktivitas bongkar muat untuk kemudian diekspor keluar
negeri. Yang ada di Pelabuhan Perikanan Nusantara Dumar-Kota Tual tersebut,
hanya terlihat + 10 kapal penangkap yang terjaring operasi pemberantasan illegal
fishing pada tahun 2008 silam dan boleh dikatakan sudah menjadi besi tua (barang
rongsokkan).
Menurut Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Dumar-Kota Tual,
Drs. Jantje Patty, saat ini mereka (Pihak Pelabuhan Perikanan Nusantara
Dumar-Kota Tual) hanya mengurusi eksport PT. Maritim Timur Jaya yang berlokasi
di Desa Ngadi Kota Tual.
Sementara itu, Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya hanya menyayangkan
apa yang terjadi saat ini di PPN Dumar, Kota Tual di mana sebelum adanya operasi
pemberantasan illegal fishing tahun 2008, PPN Dumar memiliki 300-an kapal
penangkap ikan dengan volume ekspor kurang lebih 151.000 ton per
tahunnya.
PT. PBR
Hal yang sama juga di PT. Pusaka Benjina Resources (PBR), yang
terletak di Pulau Maikoor, Kecamatan Benjina Kabupaten Kepulauan Aru dengan luas
areal + 70 hektar yang dibeli dari PT. Djayanti Group ini merupakan perusahaan
milik pengusaha Tex Suryajaya, yang bekerjasama dengan pengusaha
Thailand.
Jika ditempuh dari Ibukota Kabupaten Kepulauan Aru, yakni Kota
Dobo, dengan menggunakan transportasi laut, yakni speedboat, memerlukan waktu 1
(satu) jam untuk sampai ke perusahaan tersebut.
Ketika sampai diareal PT. Pusaka Benjina Resources, FP4N
langsung menemui Site Manager PT. Pusaka Benjina Resources, Herman Martino.
Dalam pertemuan tersebut, dirinya mengatakan, Perusahaan ini (PT. Pusaka Benjina
Resources) diresmikan pada Juni 2007, oleh Presiden RI, Susilo Bambang
Yudhoyono, yang dilakukan melalui teleconference dari Ambon (sehari sebelum
pembukaan Harganas di Ambon).
Sebelum membuka usahanya di Benjina, PT. Pusaka Benjina
Resources telah memiliki usaha penangkapan ikan di Tual, Merauke dan Ambon.
Tetapi sejak adanya Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor 17 tahun 2006, maka PT. Pusaka Benjina Resources dengan
dibantu Departeman Kelautan dan Perikanan (Sekarang Kementrian Kelautan dan
Perikanan-red), memilih Benjina sebagai home based.
Dengan + 70 kapal, PT. Pusaka Benjina Resources (PBR) memulai
aktivitasnya di areal bekas PT. DJayanti Group tersebut. Tetapi baru berjalan
beberapa saat, kapal-kapal yang diakui milik PT. Pusaka Benjina Resources,
terjaring razia oleh Polda Maluku, yang sangat giat memberantas illegal fishing.
Lebih lanjut Herman Martino menambahkan, Kapal-kapal milik PT. Pusaka Benjina
Resources yang lolos dari penangkapan tersebut dikarenakan ada yang melarikan
diri ke Merauke, ada pula yang malah kembali ke
Thailand.
Terjaringnya kapal-kapal "milik" PT. PBR tersebut oleh Polda Maluku,
karena perusahan ini kedapatan mempekerjakan Anak Buah Kapal (ABK) berkebangsaan
Thailand yang saat itu berjumlah sekitar 2684 orang, tanpa izin kerja
sebagaimana yang diatur undang-undang ketenagakerjaan RI.
Bahkan yang lebih miris lagi, mereka juga
melakukan transshipment di tengah laut (dekat perbatasan). Sebelum melakukan
transshipment, para ABK Indonesia malah disuruh pindah ke kapal lain, dengan
cara melompat dari kapal tersebut, kemudian berenang ke kapal yang lain.
Sedangkan para ABK asal Thailand tetap berada di
kapal.
Tidak hanya melakukan transshipment, tetapi juga pembelian BBM
ilegal, di mana mereka membeli solar atau BBM dengan harga subsidi, bukan dengan
harga semestinya bagi sebuah industri.
Sejumlah kapal "milik" PT. PBR yang melarikan diri saat operasi yang
dilakukan Polda Maluku ke Thailand ketika diminta untuk diekstradisi ke
Indonesia untuk mengikuti persidangan, menolak kembali dengan alasan, kapal
tersebut milik pengusaha Thailand, dan bukan milik PT. PBR. Jadi
selama ini mereka mengelabui aparat keamanan di laut, dengan memakai bendera
Indonesia, agar disangka kapal Indonesia.
Setelah aparat keamanan mulai mengendor, pada Maret 2008 hingga
Agustus 2008, kapal-kapal milik PT. PBR yang mayoritas menggunakan nama KM.
Antasena ini mulai beroperasi lagi.
Saat Polda Maluku di bawah kepemimpinan Brigadir
Jenderal Polisi Mudji Waluyo, operasi pemberantasan illegal fishing dengan nama
Jaring 2008 kembali dilakukan. Saat itu, beberapa kapal-kapal milik PT. PBR,
yang bernama KM Antasena 810, KM Antasena 829, KM Antasena 836 dan KM Antasena
806, ikut terjaring operasi tersebut.
Bahkan pelanggaran yang dilakukan kapal-kapal
milik PT. PBR pun sama, yakni mempekerjakan ABK asal Thailand tanpa mempunyai
ijin yang sah dari instansi terkait. Bukan hanya itu, dari operasi tersebut,
ditemukan pukat harimau, yang dapat merusak konservasi
laut.
Karena gencarnya Polda Maluku memerangi illegal
fishing, membuat ratusan kapal melarikan diri dari Benjina. Ada yang ke Merauke,
Menado bahkan ada yang kembali ke Thailand. Dan hal itu membuat aktivitas PT.
PBR lumpuh total dan para karyawan terpaksa
dirumahkan.
Site Manager PT. PBR, Herman Martino juga
mengatakan, kapal-kapal tersebut sepenuhnya milik mereka, hanya saja
pembayarannya secara "cicil" atau kredit. Sehingga surat-surat yang mereka
miliki juga lengkap. Tetapi yang mengherankan, jika kapal tersebut milik mereka,
mengapa bisa terjaring razia yang dilakukan Polda
Maluku.
Ketika FP4N mengkonfirmasi pernyataan Herman
Martino ke salah satu penyidik dari Polda Maluku, yang ikut menyidik pelanggaran
yang dilakukan kapal-kapal milik PT. PBR dirinya mengatakan, banyak pelanggaran
yang telah dilakukan oleh PT. PBR, sehingga kapal-kapal mereka ditangkap.
Penyidik yang tidak mau disebutkan namanya itu
mengatakan, jika PT. PBR memiliki surat-surat yang sah dan tidak melakukan
pelanggaran, maka kapal-kapal PT. PBR pasti tidak akan melarikan diri dari
Benjina. Karena melakukan pelanggaran, makanya mereka takut dan akhirnya
melarikan diri.
Setelah Brigadir Jenderal Polisi Mudji Waluyo
digantikan Brigadir Jenderal Polisi Totoy Hermawan Indra, pemberantasan illegal
fishing tidak terdengar lagi. Entah mengapa sampai hal itu tidak terjadi lagi.
Dari situlah PT. PBR mulai bangkit dan beroperasi kembali pada Maret 2009 hingga
saat ini. PT. PBR mulai beroperasi lagi dengan + 70 kapal penangkap ikan di
atas 100-400 GT dan 5 buah kapal tramper.
Area penangkapan dari kapal-kapal milik PT. PBR, yakni di sekitar Laut
Arafura dan Laut Aru. Setiap harinya sekitar 5-10 kapal melakukan bongkar muat
di pelabuhan PT. Pusaka
Benjina Resources. Bahkan setiap bulannya PT. Pusaka Benjina Resources
mengekspor ikan beku ke Thailand + 6000-7000 ton. Di mana ekspor ikan tersebut
Ekspor tersebut menggunakan kapal pengangkut bernama Silver Sea Line yang
merupakan milik perusahaan Thailand.
Ketika ditanya mengapa PT. PBR tidak membangun industri
pengolahan ikan? Site Manager PT. PBR, Herman Martino mengatakan, pabrik surimi
milik Djayanti Group, sudah rusak dan karatan, dan tidak layak pakai.
Menurutnya Pengolahan surimi butuh tenaga ahli yang baik,
sehinga mereka hanya membenahi fasilitas yang ada, karena sudah berusia 25
tahun.
Menurut Herman Martino, retribusi yang dibayar pihak PT. PBR ke
Pemerintah Daerah Provinsi Maluku setiap kali pengapalan berkisar Rp
60-100.000.000,-. Saat ini PT. PBR memiliki 186 karyawan, dan 150 ABK asal
Indonesia. Sedangkan untuk biaya makan karyawan, setiap bulannya PT. Pusaka
Benjina Resources membayar sekitar Rp 60.000.000,- juta kepada empat rumah makan
yang ada di lingkungan kantor.
Melihat banyaknya kapal yang dimiliki PT. PBR dan luasnya
kawasan yang dimilikinya, Kaya mengatakan, dirinya berharap PBR bisa membangun
industry nyata, bukan hanya sekedar memiliki cold
storage.
Kaya juga berharap pengalaman masa lalu dimana kapal-kapal
miliki PT. PBR yang terjaring razia Polda Maluku, tidak terulang lagi. "Dari
data yang kami miliki, saat operasi illegal fishing besar-besaran di tahun 2008,
banyak kapal perusahaan tersebut yang terjaring, kami berharap agar saat ini
mereka jangan lagi bermain ilegal termasuk illegal lisence. Kami berharap mereka
menjadi perusahaan yang mengikuti aturan main sesuai apa yang diamanatkan dalam
regulasi perikanan," tegas Kaya.
Dirinya juga menyayangkan adanya penangkapan ikan di laut Aru
oleh kapal-kapal PBR. "Saat liputan ke Benjina, dalam perjalanan dengan speed
boat, saya melihat ada beberapa kapal penangkap ikan yang diduga milik PT. PBR,
malah melakukan penangkapan ikan di laut Aru. Padahal laut Aru merupakan laut
konservasi," jelasnya.
Sementara itu, Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya menengaskan bahwa
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI harus secepat mungkin mengembalikan
kapal pengawas perikanan yang sudah ditarik dari Merauke ke Sulawesi Utara.
"Jika tidak secepat mungkin KKP melalui Dirjen Pengawasan mengembalikan kapal
pengawas yang dulunya melakukan pengawasan di Laut Arafura ke Merauke, maka
sampai kapan Laut Arafura tidak diawasi?," tandas
Kaya.
Kaya juga menjelaskan, jika tidak ada kapal pengawas, apakah
tidak terjadi pencurian hasil laut di laut Arafura? "Inikan sangat tidak masuk
akal, masa Laut Arafura yang menjadi primadona dari pengusaha perikanan, tidak
ada kapal pengawas dari KKP? Terus pengawasannya bagaimana? Jangan-jangan kapal
pengawas perikanan ini sengaja ditarik ke Sulawesi Utara karena ada Hubungan
Spesial antara pelaku illegal fishing dengan oknum-oknum tertentu di KKP," cetus
Kaya.
Gubernur-DPRD Dukung
Kehadiran Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional
(FP4N), yang dideklarasikan pada 28 Desember 2010, mendapat dukungan dari
Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu dan DPRD Maluku, khususnya Komisi B yang
membawahi Perikanan.
Dukungan DPRD Maluku terlihat saat menerima FP4N pada Kamis
(17/2 ), di ruang Komisi B DPRD Maluku di bawah pimpinan Melkias
Frans.
Pada pertemuan tersebut, FP4N menyerahkan rekomendasi kepada Komisi B
DPRD Maluku. Komisi B DPRD Maluku, mendukung pola kerja FP4N yang menyoroti
berbagai dugaan pelanggaran perikanan di Indonesia, khususnya Indonesia
Timur.
"Makanya sebelum diserahkan ke Menteri Kelautan
dan Perikanan dalam bentuk sebuah rekomendasi, kami minta data itu dilengkapi
penyajian informasinya sesuai fakta lapangan dan segala bentuk pelanggaran
secara jelas," kata Ketua Komisi B, Melky Frans, di
Ambon
Wakil Ketua komisi, Andreas Taborat dan
Sekretaris komisi, La Ode Salimin mengatakan, kasus yang diangkat FP4N ini akan
menjadi masukan bagi legislatif dan eksekutif dalam menyikapi pembangunan
perikanan di Maluku, sehingga data kasus yang dijadikan rekomendasi harus lebih
dipertajam.
Anggota komisi lainnya, Everd Kermite
mengatakan, langkah yang diambil FP4N sangat positif dan komisi mendukungnya,
tapi diusulkan dalam mempermudah Menteri Kelautan dan Perikanan mengenal persis
permasalahan di Maluku, forum ini menulis data-data secara
konkrit.
Sementara itu menurut Ketua FP4N, Ivan Rishky
Kaya dalam rapat dengar pendapat dengan komisi menjelaskan, rekomendasi forum
ini memuat 11 butir pernyataan penting berdasarkan hasil liputan di beberapa
daerah.
Rekomendasi dibuat berdasarkan hasil liputan yang dilakukan FP4N kebeberapa daerah, antara lain Ambon, Tual, Benjina dan
Merauke.
Kaya mengatakan, pihaknya sudah memiliki data yang lengkap dan terperinci mengenai indikasi pelanggaran perikanan yang
dilakukan para pengusaha perikanan di Maluku.
"Data-data resmi dan wawancara yang kami lakukan inilah yang kemudian dianalisa, dan kemudian lahirlah rekomendasi ini," ungkap
Kaya.
Rencananya rekomendasi yang berisikan 11 butir pernyataan dan tuntutan yang akan disampaikan ke Menteri Kelautan dan Perikanan, tembusannya akan disampaikan kepada Presiden RI, Menkopolhukam, Jaksa Agung, DPR RI, DPD RI, KPK, ICW dan lembagai terkait
lainnya.
Pernyataan yang tertuang dalam rekomendasi itu antara lain mendesak pemerintah menarik kembali atau memperketat pemberian Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) kepada perusahan nasional dan asing yang ditengarai melakukan praktek Illegal License khususnya di Indonesia timur.
Forum juga minta pemerintah memperketat pengawasan seluruh pelabuhan perikanan milik pemerintah yang selama ini menjadi
basis operasi perusahaan tersebut dan meminta segera meminimalisir kerugian negara yang diperkirakan mencapai triliunan rupiah setiap tahun, akibat pemberian izin yang tidak berbasis industri perikanan.
FP4N juga mendesak pemerintah dan legislatif merevisi berbagai peraturan perikanan yang bertujuan menyeimbangkan fungsi
pengawasan antara pusat dan daerah, sehingga memperkecil tingkat kejahatan illegal fishing dan illegal license, terutama di daerah yang menjadi pusat penangkapan atau fishing ground.
Bertemu Tim Provinsi Kepulauan
Selain DPRD Maluku, FP4N juga memberikan rekomendasi kepada Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu.
Pemerintah Provinsi kemudian menyikapinya dengan mengundang FP4N untuk bertemu dengan tim provinsi kepulauan.
Pada kesempatan tersebut Tim Provinsi Kepulauan mengapresiasi positif temuan yang didapati FP4N.
Salah satu anggota Tim Provinsi Kepulauan menyatakan, sejak tahun 1998, di dalam GBHN telah tertuang bahwa Pemerintah Pusat telah menetapkan Kawasan Indonesia Timur menjadi pusat perikanan tangkap.
Hal ini dikarenakan potensi sumber daya alam yang cukup besar di laut Arafura, Laut Banda, Laut Seram, Teluk Tomini.
Oleh karena itu apa yang dihasilkan FP4N merupakan awal yang baik untuk mendukung kawasan timur Indonesia sebagai sentra industri perikanan.Pada kesempatan tersebut, Ketua FP4N juga menjelaskan, dari semua perusahaan atau daerah yang dikunjungi FP4N, hanya didapati satu perusahaan yang memiliki industri nyata, bukan akal-akalan.
(S-19)
http://www.siwalimanews.com/post/praktek_illegal_fishing_marak