Pengungsi Maluku Pertanyakan APBD
Korban Kerusuhan
KOMPAS Rabu, 21 Mei 2008 | 00:16 WIB
AMBON, RABU - Para pengungsi korban kerusuhan Maluku mempertanyakan kekosongan pos anggaran penuntasan pengungsi dalam APBD 2008. Mereka berharap pemerintah menganggarkan dana pemulangan dan bantuan rumah karena sudah mengungsi sejak 1999. Masalah pengungsi Maluku semula ditargetkan selesai pada 2008.
Saat ini, di Maluku masih ada 12.080 keluarga pengungsi yang belum menerima bantuan pemulangan. Pemerintah Provinsi Maluku menargetkan pemulangan pengungsi selesai pada 2008. Anggaran ditanggung bersama dengan pembagian 60 persen provinsi dan 40 persen kabupaten/kota.
"Kami khawatir masalah pengungsi tidak selesai tahun ini karena dalam APBD provinsi tidak ada pos anggaran penyelesaian pengungsi. Kami minta penjelasan masalah ini dan solusinya supaya pengungsi bisa segera dipulangkan," ujar Pieter Pattiwaelapia, Koordinator Koalisi Pengungsi Maluku saat berdemonstrasi di kantor gubernur Maluku di Ambon, Senin (19/5).
Para pengungsi berharap banyak pada pemerintah provinsi karena sudah menanti selama sembilan tahun untuk dipulangkan. Mereka kehilangan rumah dan masih tinggal di rumah kontrakan serta menumpang di famili. Bantuan pemulangan dan bahan bangunan diharapkan segera cair supaya mereka bisa kembali hidup tenang di rumah sendiri.
Pieter menambahkan, anggaran yang telah disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota belum bisa digunakan jika pemerintah provinsi tidak menyediakan anggaran. Jika dibagikan, bisa terjadi kecemburuan dan mengganggu stabilitas masyarakat.
Ia mencontohkan Pemerintah Kota Ambon telah menyediakan anggaran sekitar Rp 20 miliar untuk penuntasan masalah pengungsi. Namun, dana itu tidak bisa disalurkan ke 3.824 pengungsi di Ambon jika kekurangan 60 persen yang menjadi tanggung jawab provinsi tidak ada.
AR Uluputty, Kepala Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat yang menemui para pengungsi tidak bisa memberikan penjelasan masalah ini. Ia berjanji akan menyampaikan aspirasi para pengungsi ke gubernur yang sedang dinas luar kota. "Kita berharap dana pemulangan pengungsi dianggarkan dalam APBD Perubahan. Jika tidak segera diselesaikan pengungsi Maluku tidak akan pernah selesai," ujar Pieter.
Para pengungsi akan kembali meminta bertemu dengan Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu. Mereka ingin memperoleh penjelasan yang rasional dan jaminan segera dipulangkan. Para pengungsi mengaku berhati-hati dalam menyampaikan aspirasi karena khawatir ditunggangi kepentingan politik dalam rangka pilkada.
Koalisi Pengungsi Maluku menjamin tuntutan mereka murni kemanusiaan. Pengungsi hanya mengharapkan jaminan dari pemerintah Maluku untuk bisa segera dipulangkan.
© 2008 Kompas Gramedia. All rights reserved.
Korban Kerusuhan
KOMPAS Rabu, 21 Mei 2008 | 00:16 WIB
AMBON, RABU - Para pengungsi korban kerusuhan Maluku mempertanyakan kekosongan pos anggaran penuntasan pengungsi dalam APBD 2008. Mereka berharap pemerintah menganggarkan dana pemulangan dan bantuan rumah karena sudah mengungsi sejak 1999. Masalah pengungsi Maluku semula ditargetkan selesai pada 2008.
Saat ini, di Maluku masih ada 12.080 keluarga pengungsi yang belum menerima bantuan pemulangan. Pemerintah Provinsi Maluku menargetkan pemulangan pengungsi selesai pada 2008. Anggaran ditanggung bersama dengan pembagian 60 persen provinsi dan 40 persen kabupaten/kota.
"Kami khawatir masalah pengungsi tidak selesai tahun ini karena dalam APBD provinsi tidak ada pos anggaran penyelesaian pengungsi. Kami minta penjelasan masalah ini dan solusinya supaya pengungsi bisa segera dipulangkan," ujar Pieter Pattiwaelapia, Koordinator Koalisi Pengungsi Maluku saat berdemonstrasi di kantor gubernur Maluku di Ambon, Senin (19/5).
Para pengungsi berharap banyak pada pemerintah provinsi karena sudah menanti selama sembilan tahun untuk dipulangkan. Mereka kehilangan rumah dan masih tinggal di rumah kontrakan serta menumpang di famili. Bantuan pemulangan dan bahan bangunan diharapkan segera cair supaya mereka bisa kembali hidup tenang di rumah sendiri.
Pieter menambahkan, anggaran yang telah disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota belum bisa digunakan jika pemerintah provinsi tidak menyediakan anggaran. Jika dibagikan, bisa terjadi kecemburuan dan mengganggu stabilitas masyarakat.
Ia mencontohkan Pemerintah Kota Ambon telah menyediakan anggaran sekitar Rp 20 miliar untuk penuntasan masalah pengungsi. Namun, dana itu tidak bisa disalurkan ke 3.824 pengungsi di Ambon jika kekurangan 60 persen yang menjadi tanggung jawab provinsi tidak ada.
AR Uluputty, Kepala Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat yang menemui para pengungsi tidak bisa memberikan penjelasan masalah ini. Ia berjanji akan menyampaikan aspirasi para pengungsi ke gubernur yang sedang dinas luar kota. "Kita berharap dana pemulangan pengungsi dianggarkan dalam APBD Perubahan. Jika tidak segera diselesaikan pengungsi Maluku tidak akan pernah selesai," ujar Pieter.
Para pengungsi akan kembali meminta bertemu dengan Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu. Mereka ingin memperoleh penjelasan yang rasional dan jaminan segera dipulangkan. Para pengungsi mengaku berhati-hati dalam menyampaikan aspirasi karena khawatir ditunggangi kepentingan politik dalam rangka pilkada.
Koalisi Pengungsi Maluku menjamin tuntutan mereka murni kemanusiaan. Pengungsi hanya mengharapkan jaminan dari pemerintah Maluku untuk bisa segera dipulangkan.
© 2008 Kompas Gramedia. All rights reserved.
Pengungsi Ambon Perlu Perhatian Serius
KOMPAS Kamis, 7 Maret 2002
Ambon, Kompas - Situasi Kota Ambon Rabu (6/3) kemarin relatif tenang, namun kondisi pengungsi di sejumlah penampungan di kota itu sangat memprihatinkan. Meski kebutuhan pangan sudah sedikit terpenuhi lewat bantuan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, atau usaha sendiri, kondisi penampungan yang menjadi tempat tinggal pengungsi selama ini belum memadai.
Penampungan seadanya tanpa peralatan rumah tangga dan sanitasi yang memadai membuat mereka berhasrat untuk segera pulang ke tempat asal.
Sejumlah pengungsi mengungkapkan harapan mereka saat ditemui Kompas di beberapa tempat penampungan, antara lain di penampungan bekas taman hiburan rakyat (THR) dan gedung bekas pertokoan di Jalan AY Patty yang dihuni pengungsi Muslim dan tempat penampungan di Belakang Soya yang dihuni pengungsi Kristen asal Ahuru.
Meski demikian, sejumlah pengungsi menyatakan harapan yang berbeda mengenai kemungkinan kepulangan mereka ke tempat asal sejak meletusnya konflik Maluku 19 Januari 1999. Ada pengungsi yang menyatakan baru bisa kembali ke tempat asal apabila pemerintah membangun kembali sarana perumahan yang sudah porak-poranda serta keamanan sudah benar-benar ditegakkan. Ada yang ingin kembali ke tempat asal karena sudah tidak tahan berada terus-menerus tanpa kepastian di tempat pengungsian. Namun, ada pula yang tidak ingin kembali ke tempat asal karena mengaku masih trauma.
"Harapan beta sih tentu bisa pulang kembali ke tempat asal. Namun, kalau boleh memilih, beta lebih suka pemerintah membuatkan permukiman baru di tempat lain asalkan beta bisa aman. Dulu beta yang minoritas tinggal di wilayah Obet (Kristen-Red). Beta masih takut kalau harus dikembalikan ke sana kecuali kalau ada rasa aman," kata Yati (27), pengungsi yang menempati lokasi pengungsian bekas THR di belakang Jalan Sultan Baabullah. Di depan tempat penampungan pengungsi itu terdapat kuburan yang dinamakan "Makam Para Syuhada".
Hal senada diungkapkan Upo Rahim (41), pengungsi Muslim asal Air Salobar, yang kini menempati bekas bangunan ruko yang terbakar di Jalan AY Patty. Upo mengatakan, sebelum mengungsi dua tahun lalu, di tempat asalnya dia sudah memiliki bengkel motor yang menurut dia lumayan besar. Untuk makan sehari-hari bersama keluarganya, Upo membuka penyewaan sepeda untuk anak-anak pengungsi. Dari hasil menyewakan lima buah sepeda mini bekas, Upo bisa meraih untung Rp 20.000 sehari. Ongkos sewa satu jam Rp 1.000.
Tersiksa
Leonardo Deipepa (49), pengungsi Kristen asal Ahuru, mengaku tersiksa tinggal di tempat pengungsian di Belakang Soya selama dua tahun terakhir. Dia tidak bisa menjawab bagaimana perasaan tinggal di tempat pengungsian.
"Bagaimana saya harus bilang senang kalau saya tersiksa seperti ini. Saya bilang tidak senang pun tidak mungkin, sebab mau ke mana lagi saya pergi," kata Leonardo, pegawai Departemen Kesehatan yang sudah memasuki masa persiapan pensiun. Dia mengakui, untuk kebutuhan makan dirinya bersama istri, Konstantia, serta tujuh anaknya (dua bekerja di Timika), sudah memadai lewat sejumlah bantuan.
"Bahwa ada bantuan memang telah menghilangkan rasa lapar dan dahaga, tetapi tidak bisa menghilangkan pikiran saya. Sulit membayangkan apa yang telah kami dapatkan dengan susah payah dan dengan peluh keluar deras, harus lenyap dalam sekejap. Pikiran ini tidak mungkin saya lupakan, mungkin akan terus kami ceritakan kepada anak-cucu," kata Leonardo yang menempati bedeng tripleks ukuran 5x3 meter. Masih terdapat 40 sekat yang sama dalam tiga bedeng di tempat pengungsian itu.
Sampai Oktober 2001, tercatat 329.000 pengungsi baik dari pihak Muslim maupun Kristen. Para pengungsi menempati tempat penampungan di wilayah yang sesuai dengan agama kebanyakan masyarakat setempat. Tempat penampungan pun bermacam-macam. Bantuan yang pernah datang kepada seluruh pengungsi dari Dinas Sosial berupa sumbangan uang Rp 235.000. Oleh pengungsi, uang bantuan itu umumnya dibelikan alat-alat dapur atau alat-alat rumah tangga.
Upo Rahim, misalnya, menempati ruko di Jalan AY Patty yang sudah terbakar. Dalam ruko tiga lantai milik etnis Tionghoa yang mengungsi ke Bali itu dia tinggal bersama dua keluarga lainnya. Dalam puing-puing ruko itu, Upo membuat bangunan dari tripleks seadanya, sehingga terkesan "ada bangunan di dalam bangunan".
Ada pula bedeng dari tripleks yang dibangun berderet-deret seperti di belakang bangunan THR dan Belakang Soya. Para pengungsi tinggal berdesak-desakan dalam tempat penampungan yang umumnya kurang penampungan dan sanitasi yang buruk.
Ambon tenang
Rabu kemarin Kota Ambon sudah relatif tenang kembali setelah terjadinya insiden yang nyaris memicu kericuhan, Selasa. Kegiatan masyarakat pun sudah seperti biasa. Kantor dan pertokoan bukan seperti biasa, termasuk Ambon Plaza (Amplaz) yang merupakan pertokoan paling ramai saat ini. Pelajar dan guru pun melakukan kegiatannya tanpa gangguan.
Atas insiden yang nyaris menimbulkan kericuhan Selasa (5/2) dan juga kericuhan Sabtu (2/3), Kapolda Maluku Brigen (Pol) Soenarka Danu Ardanto kemarin mengatakan, pihaknya belum melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang diduga berada di balik dua insiden tersebut. Pihaknya bersama Pangdam akan terus melakukan penyelidikan.
Penguasa Darurat Sipil Daerah Maluku bersama aparat keamanan memenuhi janjinya dengan memusnahkan minuman keras yang berhasil mereka sita. Ini menyusul pernyataan tegas bahwa pemerintah melarang segala jenis minuman keras, termasuk minuman keras tradisional yang di Maluku dikenal dengan nama "Sopi".
Bertempat di Dermaga Lanal Halong, Selasa lalu dimusnahkan sedikitnya 2.585 liter Sopi yang disimpan dalam kemasan jerigen. Minuman keras itu dipasok dari Serwaru, Maluku Tenggara Barat. Minuman keras diangkut sebuah kapal Chandra Agung yang bersandar di Pelabuhan Gudang Arang. (pep)
KOMPAS Kamis, 7 Maret 2002
Ambon, Kompas - Situasi Kota Ambon Rabu (6/3) kemarin relatif tenang, namun kondisi pengungsi di sejumlah penampungan di kota itu sangat memprihatinkan. Meski kebutuhan pangan sudah sedikit terpenuhi lewat bantuan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, atau usaha sendiri, kondisi penampungan yang menjadi tempat tinggal pengungsi selama ini belum memadai.
Penampungan seadanya tanpa peralatan rumah tangga dan sanitasi yang memadai membuat mereka berhasrat untuk segera pulang ke tempat asal.
Sejumlah pengungsi mengungkapkan harapan mereka saat ditemui Kompas di beberapa tempat penampungan, antara lain di penampungan bekas taman hiburan rakyat (THR) dan gedung bekas pertokoan di Jalan AY Patty yang dihuni pengungsi Muslim dan tempat penampungan di Belakang Soya yang dihuni pengungsi Kristen asal Ahuru.
Meski demikian, sejumlah pengungsi menyatakan harapan yang berbeda mengenai kemungkinan kepulangan mereka ke tempat asal sejak meletusnya konflik Maluku 19 Januari 1999. Ada pengungsi yang menyatakan baru bisa kembali ke tempat asal apabila pemerintah membangun kembali sarana perumahan yang sudah porak-poranda serta keamanan sudah benar-benar ditegakkan. Ada yang ingin kembali ke tempat asal karena sudah tidak tahan berada terus-menerus tanpa kepastian di tempat pengungsian. Namun, ada pula yang tidak ingin kembali ke tempat asal karena mengaku masih trauma.
"Harapan beta sih tentu bisa pulang kembali ke tempat asal. Namun, kalau boleh memilih, beta lebih suka pemerintah membuatkan permukiman baru di tempat lain asalkan beta bisa aman. Dulu beta yang minoritas tinggal di wilayah Obet (Kristen-Red). Beta masih takut kalau harus dikembalikan ke sana kecuali kalau ada rasa aman," kata Yati (27), pengungsi yang menempati lokasi pengungsian bekas THR di belakang Jalan Sultan Baabullah. Di depan tempat penampungan pengungsi itu terdapat kuburan yang dinamakan "Makam Para Syuhada".
Hal senada diungkapkan Upo Rahim (41), pengungsi Muslim asal Air Salobar, yang kini menempati bekas bangunan ruko yang terbakar di Jalan AY Patty. Upo mengatakan, sebelum mengungsi dua tahun lalu, di tempat asalnya dia sudah memiliki bengkel motor yang menurut dia lumayan besar. Untuk makan sehari-hari bersama keluarganya, Upo membuka penyewaan sepeda untuk anak-anak pengungsi. Dari hasil menyewakan lima buah sepeda mini bekas, Upo bisa meraih untung Rp 20.000 sehari. Ongkos sewa satu jam Rp 1.000.
Tersiksa
Leonardo Deipepa (49), pengungsi Kristen asal Ahuru, mengaku tersiksa tinggal di tempat pengungsian di Belakang Soya selama dua tahun terakhir. Dia tidak bisa menjawab bagaimana perasaan tinggal di tempat pengungsian.
"Bagaimana saya harus bilang senang kalau saya tersiksa seperti ini. Saya bilang tidak senang pun tidak mungkin, sebab mau ke mana lagi saya pergi," kata Leonardo, pegawai Departemen Kesehatan yang sudah memasuki masa persiapan pensiun. Dia mengakui, untuk kebutuhan makan dirinya bersama istri, Konstantia, serta tujuh anaknya (dua bekerja di Timika), sudah memadai lewat sejumlah bantuan.
"Bahwa ada bantuan memang telah menghilangkan rasa lapar dan dahaga, tetapi tidak bisa menghilangkan pikiran saya. Sulit membayangkan apa yang telah kami dapatkan dengan susah payah dan dengan peluh keluar deras, harus lenyap dalam sekejap. Pikiran ini tidak mungkin saya lupakan, mungkin akan terus kami ceritakan kepada anak-cucu," kata Leonardo yang menempati bedeng tripleks ukuran 5x3 meter. Masih terdapat 40 sekat yang sama dalam tiga bedeng di tempat pengungsian itu.
Sampai Oktober 2001, tercatat 329.000 pengungsi baik dari pihak Muslim maupun Kristen. Para pengungsi menempati tempat penampungan di wilayah yang sesuai dengan agama kebanyakan masyarakat setempat. Tempat penampungan pun bermacam-macam. Bantuan yang pernah datang kepada seluruh pengungsi dari Dinas Sosial berupa sumbangan uang Rp 235.000. Oleh pengungsi, uang bantuan itu umumnya dibelikan alat-alat dapur atau alat-alat rumah tangga.
Upo Rahim, misalnya, menempati ruko di Jalan AY Patty yang sudah terbakar. Dalam ruko tiga lantai milik etnis Tionghoa yang mengungsi ke Bali itu dia tinggal bersama dua keluarga lainnya. Dalam puing-puing ruko itu, Upo membuat bangunan dari tripleks seadanya, sehingga terkesan "ada bangunan di dalam bangunan".
Ada pula bedeng dari tripleks yang dibangun berderet-deret seperti di belakang bangunan THR dan Belakang Soya. Para pengungsi tinggal berdesak-desakan dalam tempat penampungan yang umumnya kurang penampungan dan sanitasi yang buruk.
Ambon tenang
Rabu kemarin Kota Ambon sudah relatif tenang kembali setelah terjadinya insiden yang nyaris memicu kericuhan, Selasa. Kegiatan masyarakat pun sudah seperti biasa. Kantor dan pertokoan bukan seperti biasa, termasuk Ambon Plaza (Amplaz) yang merupakan pertokoan paling ramai saat ini. Pelajar dan guru pun melakukan kegiatannya tanpa gangguan.
Atas insiden yang nyaris menimbulkan kericuhan Selasa (5/2) dan juga kericuhan Sabtu (2/3), Kapolda Maluku Brigen (Pol) Soenarka Danu Ardanto kemarin mengatakan, pihaknya belum melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang diduga berada di balik dua insiden tersebut. Pihaknya bersama Pangdam akan terus melakukan penyelidikan.
Penguasa Darurat Sipil Daerah Maluku bersama aparat keamanan memenuhi janjinya dengan memusnahkan minuman keras yang berhasil mereka sita. Ini menyusul pernyataan tegas bahwa pemerintah melarang segala jenis minuman keras, termasuk minuman keras tradisional yang di Maluku dikenal dengan nama "Sopi".
Bertempat di Dermaga Lanal Halong, Selasa lalu dimusnahkan sedikitnya 2.585 liter Sopi yang disimpan dalam kemasan jerigen. Minuman keras itu dipasok dari Serwaru, Maluku Tenggara Barat. Minuman keras diangkut sebuah kapal Chandra Agung yang bersandar di Pelabuhan Gudang Arang. (pep)