BERITA HARIAN UMUM SIWALIMA
EDISI: SENIN, 28 Mei 2001
FKM Minta Berdialog dengan Pemerintah Indonesia
Ambon, Siwalima - Perjuangan FKM mengembalikan hak dan kewajiban, harkat dan martabat komunitas Bangsa Maluku yang sduah sangat terpuruk akibat teraniaya, tertindas, yang merupakan akibat dari konspirasi/kolaborasi siluman vertikal pusat dari elit politik, TNI (status quo), Polri, Golkar (status quo) dan Muslim garis keras makin gencar dilakukan.
Dan upaya terakhir yang sedang dilakukan adalah meminta kesediaan pemerintah Indonesia untuk berdialog dengn Forum Kedaulatan Maluku (FKM).
Harapan akan segera berdialog ini terutang dalam surat FKM bernomor 18/DPP.FKM/V/2001 dengan perihal Dialog Nasional, yang dikirim langsung kepada Presiden RI KH Abdurrahman Wahid. Dengan berbagai argumentasi dan dasar pertimbangan yang dilampirkan dalam surat tersebut, FKM sangat mengharapkan agar Presiden dapat merestui permintaan FKM untuk segera digelar dialog nasional itu, demi menekan berbagai kejadian yang makin tidak manusiawi di Ambon (Maluku) akhir-akhir ini.
"Dengan kerendahan hati kami memintakan kepada Bapak (Presiden Wahid) agar kami (FKM) dapat berdialog dengan pemerintah Indonesia yang turut juga diperlengkapi dengan mediator/fasilitator/pengamat internasional dalam waktu tidak terlalu lama. Dan berlangsung pada wilayah netral (seperti Australia), dalam rangka mendapatkan/menemukan solusi terbaik demi penyelesaian kasus Maluku/Alif’uru," tulis FKM dalam suratnya yang ditandatangani dr Alex Manuputty (Pimpinan Eksekutif) dan Hengky MAnuhuttu, SH (Sekretaris Jenderal), yang tembusannya diterima Siwalima, Sabtu lalu.
Surat bertanggal 22 Mei itu juga menegaskan, rakyat tidak punya kemampuan untuk melakukan dan melanggengkan tragedi kemanusiaan, baik itu dalam waktu singkat maupun untuk waktu lama (2 tahun 5 bulan) dan mungkin akan berkelanjutan sesuai konsprasi para elit politik dan elit birokrasi maupun kekuatan sektarian di ringkat pusat pemerintahan.
"Konspirasi ini meramu sumber/subyek konflik sedemikian rupa sehingga kelihatannya seperti tragedi horisontal Muslim dan Kristen lokal, dimana kepentingan mereka (konspirasi tersebut diatas) tetap langgeng, lestari, berkesinambungan, yaitu kedudukan, harta/uang dan demi tercapainya negara Islam (pemberlakuan Syariat Islam dalam wilayah negara/bottom up sehingga pada akhirnya diharuskan adanya payung hukum untuk hal tersebut yang datangnya dari top down)," tulis FKM.
Butir lain menyebutkan, "TNI dan Golkar tetap mempertahankan kukunya lebih dalam agar kebusukan/kejahatan kemanusiaan yang mereka perbuat tidak muncul dipermukaan".
Ditegaskan, FKM berada diantara pemerintah Indonesia dan rakyat Maluku. Kepada pemerintah adalah suatu tindakan koreksi dan protes terhadap ketidak mampuan penanganan tragedi kemanusiaan di Maluku, sementara terhadap keterpurukan masyarakat adalah suatu penegakan kebenaran, keadilan dan kejujuran, sebab tidak ada lagi kemerdekaan dan kedaulatan bagi rakyat Maluku dimana-mana seperti di pasar, sekolah, kantor, tempat umum, jalan raya, lautan, tempat asal dan sumber daya alamnya.
"Tidak ada satupun Pembukaan UUD 1945 serta isinya yang diberlakukan di Maluku oleh pemerintah dan negara yang katanya merdeka dan berdaulat serta adalah negara hukum yang diagung-agungkan. FKM lahir dengan tuntutan mendasar demi penyelesaian tragedi kemanusiaan yaitu, meminta kehadiran pasukan pemelihara perdamaian (Peace Keeping Force Attendance) untuk memulihkan nilai-nilai kemanusiaan. Juga, TNI, Jihad dan yang bukan bangsa Mluku (Alif’uru) segera angkat kaki dari Bumi Maluku.
"Hal ini janganlah ditafsirkan sebagai upaya melawan pemerintah yang sah, tetapi tuntutan itu merupakan jawaban atas ketidak pedulian negara/pemerintah dalam menangani tragedi kemanusiaan Maluku selama ini, yang harus disikapi dengan arif, bijaksana, terbuka/transparan," demikian FKM dalam suratnya itu.
EDISI: SENIN, 28 Mei 2001
FKM Minta Berdialog dengan Pemerintah Indonesia
Ambon, Siwalima - Perjuangan FKM mengembalikan hak dan kewajiban, harkat dan martabat komunitas Bangsa Maluku yang sduah sangat terpuruk akibat teraniaya, tertindas, yang merupakan akibat dari konspirasi/kolaborasi siluman vertikal pusat dari elit politik, TNI (status quo), Polri, Golkar (status quo) dan Muslim garis keras makin gencar dilakukan.
Dan upaya terakhir yang sedang dilakukan adalah meminta kesediaan pemerintah Indonesia untuk berdialog dengn Forum Kedaulatan Maluku (FKM).
Harapan akan segera berdialog ini terutang dalam surat FKM bernomor 18/DPP.FKM/V/2001 dengan perihal Dialog Nasional, yang dikirim langsung kepada Presiden RI KH Abdurrahman Wahid. Dengan berbagai argumentasi dan dasar pertimbangan yang dilampirkan dalam surat tersebut, FKM sangat mengharapkan agar Presiden dapat merestui permintaan FKM untuk segera digelar dialog nasional itu, demi menekan berbagai kejadian yang makin tidak manusiawi di Ambon (Maluku) akhir-akhir ini.
"Dengan kerendahan hati kami memintakan kepada Bapak (Presiden Wahid) agar kami (FKM) dapat berdialog dengan pemerintah Indonesia yang turut juga diperlengkapi dengan mediator/fasilitator/pengamat internasional dalam waktu tidak terlalu lama. Dan berlangsung pada wilayah netral (seperti Australia), dalam rangka mendapatkan/menemukan solusi terbaik demi penyelesaian kasus Maluku/Alif’uru," tulis FKM dalam suratnya yang ditandatangani dr Alex Manuputty (Pimpinan Eksekutif) dan Hengky MAnuhuttu, SH (Sekretaris Jenderal), yang tembusannya diterima Siwalima, Sabtu lalu.
Surat bertanggal 22 Mei itu juga menegaskan, rakyat tidak punya kemampuan untuk melakukan dan melanggengkan tragedi kemanusiaan, baik itu dalam waktu singkat maupun untuk waktu lama (2 tahun 5 bulan) dan mungkin akan berkelanjutan sesuai konsprasi para elit politik dan elit birokrasi maupun kekuatan sektarian di ringkat pusat pemerintahan.
"Konspirasi ini meramu sumber/subyek konflik sedemikian rupa sehingga kelihatannya seperti tragedi horisontal Muslim dan Kristen lokal, dimana kepentingan mereka (konspirasi tersebut diatas) tetap langgeng, lestari, berkesinambungan, yaitu kedudukan, harta/uang dan demi tercapainya negara Islam (pemberlakuan Syariat Islam dalam wilayah negara/bottom up sehingga pada akhirnya diharuskan adanya payung hukum untuk hal tersebut yang datangnya dari top down)," tulis FKM.
Butir lain menyebutkan, "TNI dan Golkar tetap mempertahankan kukunya lebih dalam agar kebusukan/kejahatan kemanusiaan yang mereka perbuat tidak muncul dipermukaan".
Ditegaskan, FKM berada diantara pemerintah Indonesia dan rakyat Maluku. Kepada pemerintah adalah suatu tindakan koreksi dan protes terhadap ketidak mampuan penanganan tragedi kemanusiaan di Maluku, sementara terhadap keterpurukan masyarakat adalah suatu penegakan kebenaran, keadilan dan kejujuran, sebab tidak ada lagi kemerdekaan dan kedaulatan bagi rakyat Maluku dimana-mana seperti di pasar, sekolah, kantor, tempat umum, jalan raya, lautan, tempat asal dan sumber daya alamnya.
"Tidak ada satupun Pembukaan UUD 1945 serta isinya yang diberlakukan di Maluku oleh pemerintah dan negara yang katanya merdeka dan berdaulat serta adalah negara hukum yang diagung-agungkan. FKM lahir dengan tuntutan mendasar demi penyelesaian tragedi kemanusiaan yaitu, meminta kehadiran pasukan pemelihara perdamaian (Peace Keeping Force Attendance) untuk memulihkan nilai-nilai kemanusiaan. Juga, TNI, Jihad dan yang bukan bangsa Mluku (Alif’uru) segera angkat kaki dari Bumi Maluku.
"Hal ini janganlah ditafsirkan sebagai upaya melawan pemerintah yang sah, tetapi tuntutan itu merupakan jawaban atas ketidak pedulian negara/pemerintah dalam menangani tragedi kemanusiaan Maluku selama ini, yang harus disikapi dengan arif, bijaksana, terbuka/transparan," demikian FKM dalam suratnya itu.