2010, Tahun Berduka Pers di Maluku
by Azis Tunny on Friday, December 24, 2010 at 11:14am
Oleh: M. Azis Tunny
Perjuangan menuju kebebasan pers masih panjang dan berliku. Kebebasan pers sebagai oksigen demokrasi ternyata masih sesak nafas, bahkan berlumuran darah. Sepanjang tahun 2010, sejumlah kasus kekerasan terhadap wartawan terjadi di Maluku. Dua kasus bahkan berujung kematian.
Konflik komunal yang pernah pecah di Maluku dengan korban jiwa begitu banyak, tidak ada wartawan yang mati sia-sia di medan liputan. Sejarahwan asal Belanda Gerry Van Klinken menyebutkan, konflik yang terjadi tahun 1999-2001 itu sebagai tragedi terbesar di Indonesia setelah peristiwa 1965/1966. Peace Building Institute mencatat, dari 18.910 warga Indonesia yang tewas dalam pertempuran komunal sejak Oktober 1998 hingga September 2001, sebanyak 9.753 orang tewas dalam konflik Maluku.
Angka ini menunjukkan bahwa secara faktual, konflik paling tragis dengan jumlah korban terbesar terjadi di Maluku, dibandingkan konflik di daerah lain seperti konflik Aceh, Papua, Sampit dan Poso. Saat ketakutan pada kondisi mencekam telah berlalu, wartawan justru tewas saat menjalankan tugas. Dunia pers di Maluku berduka. Duka ketika pers di negeri ini sudah mendapat predikat kebebasannya. Duka di saat warga Maluku sudah menikmati rasa damai.
Sejarah pers di Maluku sudah lebih dari seabad, ditandai “Soerat Chabar Penghentar” terbit di Ambon pertama kali, tahun 1894. Buku “Sejarah Pers Nasional di Maluku” ditulis M. Amin Ely dan buku “Mozaik Pers di Negeri Raja-Raja” yang diterbitkan Maluku Media Centre (MMC), mencatat bahwa pers di Maluku melalui masa cukup panjang sejak penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi.
Banyak tokoh pers dipenjara, diasingkan, dianiaya, disiksa, diteror, media dibreidel, menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah eksistensi pers Maluku. Meskipun melalui masa-masa sulit pada zaman penjajahan hingga Orde Baru, namun tidak ada satu pun kasus wartawan meninggal saat bertugas. Menjadi ironi memang, ketika era Reformasi yang menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi dan HAM, menghormati kebebasan berpendapat dan pers, justru dua wartawan terbunuh saat menjalankan tugas profesinya. Itupun dalam setahun dan berselang empat bulan.
Perjuangan menuju kebebasan pers masih panjang dan berliku. Kebebasan pers sebagai oksigen demokrasi ternyata masih sesak nafas, bahkan berlumuran darah. Sepanjang tahun 2010, sejumlah kasus kekerasan terhadap wartawan terjadi di Maluku. Dua kasus bahkan berujung kematian.
Konflik komunal yang pernah pecah di Maluku dengan korban jiwa begitu banyak, tidak ada wartawan yang mati sia-sia di medan liputan. Sejarahwan asal Belanda Gerry Van Klinken menyebutkan, konflik yang terjadi tahun 1999-2001 itu sebagai tragedi terbesar di Indonesia setelah peristiwa 1965/1966. Peace Building Institute mencatat, dari 18.910 warga Indonesia yang tewas dalam pertempuran komunal sejak Oktober 1998 hingga September 2001, sebanyak 9.753 orang tewas dalam konflik Maluku.
Angka ini menunjukkan bahwa secara faktual, konflik paling tragis dengan jumlah korban terbesar terjadi di Maluku, dibandingkan konflik di daerah lain seperti konflik Aceh, Papua, Sampit dan Poso. Saat ketakutan pada kondisi mencekam telah berlalu, wartawan justru tewas saat menjalankan tugas. Dunia pers di Maluku berduka. Duka ketika pers di negeri ini sudah mendapat predikat kebebasannya. Duka di saat warga Maluku sudah menikmati rasa damai.
Sejarah pers di Maluku sudah lebih dari seabad, ditandai “Soerat Chabar Penghentar” terbit di Ambon pertama kali, tahun 1894. Buku “Sejarah Pers Nasional di Maluku” ditulis M. Amin Ely dan buku “Mozaik Pers di Negeri Raja-Raja” yang diterbitkan Maluku Media Centre (MMC), mencatat bahwa pers di Maluku melalui masa cukup panjang sejak penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi.
Banyak tokoh pers dipenjara, diasingkan, dianiaya, disiksa, diteror, media dibreidel, menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah eksistensi pers Maluku. Meskipun melalui masa-masa sulit pada zaman penjajahan hingga Orde Baru, namun tidak ada satu pun kasus wartawan meninggal saat bertugas. Menjadi ironi memang, ketika era Reformasi yang menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi dan HAM, menghormati kebebasan berpendapat dan pers, justru dua wartawan terbunuh saat menjalankan tugas profesinya. Itupun dalam setahun dan berselang empat bulan.
Kontributor Sun TV Ridwan Salamun (28), kehilangan nyawa pada 21 Agustus 2010 karena dianiaya saat meliput pertikaian warga di Desa Fiditan, Kecamatan Dullah Utara, Kota Tual. Ridwan tewas dengan menderita luka bacok dan tombak di kepala dan tubuhnya. Dia dibiarkan terkapar di jalan raya lebih dari dua jam. MMC, organisasi wartawan lokal di Maluku menduga ada unsur pembiaran oleh aparat Polres Maluku Tenggara hingga nyawa Ridwan tidak tertolong.
Kematian Ridwan yang lalai dari perlindungan aparat keamanan memicu reaksi keras dunia pers. Aksi simpati bergulir, mengecam aparat keamanan yang cenderung melakukan pembiaran saat Ridwan dianiaya, bahkan saat masih terkapar di jalan. Dua jam setelah pertolongan datang, Ridwan akhirnya menghembuskan nafas terakhir beberapa saat setelah berada di Rumah Sakit Umum (RSU) Tual.
Saat melakukan investigasi di Tual, Komnas HAM menemukan fakta bahwa Ridwan sedang meliput. Laporan Komnas HAM ini terbalik dari hasil penyidikan polisi. Kamera yang kerap dibawah Ridwan dalam tugas sehari-harinya terlihat menemaninya saat terkapar bermandikan darah di tepi jalan raya desa Fiditan.
Sejumlah saksi kepada Komnas HAM mengungkapkan bahwa Ridwan saat itu menenteng kamera dan mengambil gambar tiga buah rumah warga yang dibakar masa pada konflik sehari sebelumnya. Anehnya, saat maut menjemput Ridwan, konflik massa sudah mereda, meskipun massa dari dua kelompok yang bertikai saling berhadap-hadapan pada jarak yang masih aman.
Entah logika hukum apa yang dipakai Polres Maluku Tenggara dengan menetapkan Ridwan yang sudah meninggal sebagai tersangka. Ridwan dituduh terlibat dalam bentrokan dan menjadi pelaku bagi korban lainnya. Polisi bahkan menyatakan Ridwan tidak membawa kamera, melainkan parang. Padahal salah satu foto saat Ridwan masih terkapar secara jelas terlihat handycam miliknya berada sekitar dua jingkal tangan dari kepalanya. Handycam yang tergeletak di atas rumput itu, separuhnya sudah tertutupi darah. Handycam tersebut hilang, bersamaan dengan evakuasi Ridwan. MMC menuding bahwa penetapan status Ridwan yang sudah meninggal sebagai tersangka adalah rekayasa dan mengalihan isu. MMC juga mempertanyakan handycam yang dapat menjadi barang bukti bisa hilang begitu saja.
Jauh sebelum kematiannya, Mei 2010, Ridwan sempat melaporkan aksi pemukulan terhadap dirinya oleh oknum anggota Brimob, kepada MMC dan Komnas HAM, saat ia meliput aksi unjuk rasa warga di Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru. Prosesnya hingga kini tak pernah berlanjut ke ranah hukum dan lenyap begitu saja. Kapolda Maluku Brigjen Totoy Herawan Indra mengaku telah membentuk tim penyidik untuk menyelidiki kasus tersebut. Namun hingga berganti Kapolda ke Brigjen Syarief Gunawan, kasus ini tak pernah terang ujungnya.
Kematian Ridwan yang lalai dari perlindungan aparat keamanan memicu reaksi keras dunia pers. Aksi simpati bergulir, mengecam aparat keamanan yang cenderung melakukan pembiaran saat Ridwan dianiaya, bahkan saat masih terkapar di jalan. Dua jam setelah pertolongan datang, Ridwan akhirnya menghembuskan nafas terakhir beberapa saat setelah berada di Rumah Sakit Umum (RSU) Tual.
Saat melakukan investigasi di Tual, Komnas HAM menemukan fakta bahwa Ridwan sedang meliput. Laporan Komnas HAM ini terbalik dari hasil penyidikan polisi. Kamera yang kerap dibawah Ridwan dalam tugas sehari-harinya terlihat menemaninya saat terkapar bermandikan darah di tepi jalan raya desa Fiditan.
Sejumlah saksi kepada Komnas HAM mengungkapkan bahwa Ridwan saat itu menenteng kamera dan mengambil gambar tiga buah rumah warga yang dibakar masa pada konflik sehari sebelumnya. Anehnya, saat maut menjemput Ridwan, konflik massa sudah mereda, meskipun massa dari dua kelompok yang bertikai saling berhadap-hadapan pada jarak yang masih aman.
Entah logika hukum apa yang dipakai Polres Maluku Tenggara dengan menetapkan Ridwan yang sudah meninggal sebagai tersangka. Ridwan dituduh terlibat dalam bentrokan dan menjadi pelaku bagi korban lainnya. Polisi bahkan menyatakan Ridwan tidak membawa kamera, melainkan parang. Padahal salah satu foto saat Ridwan masih terkapar secara jelas terlihat handycam miliknya berada sekitar dua jingkal tangan dari kepalanya. Handycam yang tergeletak di atas rumput itu, separuhnya sudah tertutupi darah. Handycam tersebut hilang, bersamaan dengan evakuasi Ridwan. MMC menuding bahwa penetapan status Ridwan yang sudah meninggal sebagai tersangka adalah rekayasa dan mengalihan isu. MMC juga mempertanyakan handycam yang dapat menjadi barang bukti bisa hilang begitu saja.
Jauh sebelum kematiannya, Mei 2010, Ridwan sempat melaporkan aksi pemukulan terhadap dirinya oleh oknum anggota Brimob, kepada MMC dan Komnas HAM, saat ia meliput aksi unjuk rasa warga di Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru. Prosesnya hingga kini tak pernah berlanjut ke ranah hukum dan lenyap begitu saja. Kapolda Maluku Brigjen Totoy Herawan Indra mengaku telah membentuk tim penyidik untuk menyelidiki kasus tersebut. Namun hingga berganti Kapolda ke Brigjen Syarief Gunawan, kasus ini tak pernah terang ujungnya.
Belum lagi kasus kematian Ridwan terungkap secara terang-benderang, satu lagi wartawan di Maluku harus kehilangan nyawa. 17 Desember 2010, Pimpinan Redaksi Tabloid Mingguan Pelangi Maluku, Alfrets Mirulewan (28), ditemukan tewas mengambang di perairan dekat pelabuhan Pantai Nama, Wonreli, Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya.
Jeremias Maahury dan Alex Kikilay, dua rekan Alfrets yang juga wartawan, bersaksi bahwa Alfrets menghilang sejak Selasa malam (14/12) sekitar pukul 24.00 WIT. Alfrets saat itu sedang melakukan investigasi dengan mengintai aktivitas bongkar muat BBM di pelabuhan Pantai Nama. Dia curiga ada bisnis illegal oil dengan menimbun BBM, dan diduga kuat melibatkan oknum aparat keamanan. Dugaan itu diperkuat dengan terjadinya kelangkaan BBM di Wonreli yang menyebabkan harga bensin misalnya mencapai Rp.25 ribu per liter.
Menurut Alex, sebelum pengintaian malam hari itu, dirinya bersama Alfrets sempat membuntuti sebuah truck yang dikemudikan seorang anggota polisi berinisial “EF”. Truck pick-up itu memasuki kawasan pelabuhan dan mengangkut drum-drum penuh bahan bakar. Saat truck itu keluar dari areal pelabuhan, Alfrets mengajak Alex untuk membuntutinya dengan sepeda motor. Hanya saja, incaran mereka tahu ada yang mengikuti dari belakang.
“Sempat terjadi adu mulut antara Alfrets dan polisi itu, yang menginginkan kami meninggalkan lokasi pelabuhan,” kata Alex.
Karena takut, Alex meminta Alfrets mengantarnya pulang. Setelah mengantar Alex pulang, Alfrets ternyata tidak langsung pulang ke rumah. Dia kembali ke pelabuhan untuk melanjutkan investigasi. Sejak malam itu Alfrets dinyatakan hilang hingga tiga hari kemudian jenasahnya ditemukan mengapung di laut, sekitar enam meter dari LCT Cantika 01 yang tengah sandar di pelabuhan Pantai Nama.
Satu hari setelah Alfrets menghilang, Rabu (15/12), topi yang biasa dipakainya ditemukan oleh seorang warga Thomas Katipana di atas pelabuhan dekat tambatan tali-temali LCT Cantika 01. Topi ini diserahkan ke Polsek setempat pada Sabtu (18/12).
LCT Cantika 01 adalah landen yang dipakai mengangkut 40.000 ton bahan bakar yang proses bongkar muatnya dipantau oleh Alfrets. Dari jumlah itu, 125 drum bensin milik anggota polisi yang sempat bersitegang dengan Alfrets. Sayangnya, LCT Cantika 01 yang dapat menjadi petunjuk TKP malah dilepas untuk berlayar oleh polisi setempat. Selain itu, motor sewaan merek Suzuki Thunder yang dipakai Alfrets juga ditemukan di pelabuhan dalam posisi kunci motor masih berada di antara setir dan tangki minyak.
Tidak berbeda dari Ridwan Salamun yang tewas dengan banyak luka berat, Alfrets Mirulewan pun tewas dengan bekas-bekas penganiayaan. Thimotius Mirulewan, kakak korban, menyatakan wajah bagian kiri Alrferts tampak lebam dan kelopak matanya pecah. Di kepala bagian belakang terdapat luka memar. Alfrets juga menggigit lidahnya yang terjulur.
Pihak keluarga Alfrets menyesali, tidak diijinkan polisi dan petugas kesehatan di Puskesmas Wonreli untuk melihat jasad korban. Otopsi yang dilakukan dengan kawalan polisi juga berlangsung tanpa izin pihak keluarga. Keluarga hanya menerima jenasah Alfrets di rumah duka, dalam kondisi sudah terbungkus plastik, dan sudah dipetikan. Karena penasaran, pihak keluarga lalu membuka peti dan plastik yang membungkus jenasah Alfrets.
Sama halnya dengan Ridwan yang dituduh sebagai pelaku konflik, Alfrets kini mendapat tuduhan sedang mabuk pada malam dia dinyatakan hilang. Kapolda Maluku Brigjen Syarief Gunawan saat pertemuan dengan DPRD Maluku dan MMC pada Selasa (21/12) mengatakan, salah satu saksi menyebutkan bahwa dirinya sempat bertemu dengan Alfrets pada Selasa malam dalam kondisi mabuk. Kapolda menduga, Alfrets mabuk dan terjatuh ke laut hingga menyebabkannya meninggal. Kapolda juga mengatakan, jenasah Alfrets sudah mengalami pembusukan lanjut yang menandakan kematiannya terjadi antara 24-36 jam sebelum diotopsi.
Agak membingungkan memang, dinamika arus laut sekitar pelabuhan Pantai Nama yang deras karena menghadap laut lepas seharusnya sudah menyeret jasad Alfrets bila dia meninggal sejak Selasa malam itu. Kenapa tiga hari di laut, Alfrets hanya berjarak sekitar enam meter dari LCT Cantika 01. Dari foto yang diambil saat Alfrets pertama kali dievakuasi dari laut, perutnya juga tidak kembung. Tampak kepalanya yang membengkak dan luka lebam di sekitar dua bola mata dan mulut. Selain itu, kulit perut, tangan dan bahu korban juga masih dalam kondisi belum mengalami pembusukan.
Belum terungkapnya secara benderang kasus kematian Ridwan Salamun dan sudah ada tambahan kasus serupa yang menyebabkan kematian Alfrets Mirulewan, menjadi pekerjaan rumah cukup berat bagi kepolisian daerah Maluku. Semua kini berpulang pada kejujuran pihak kepolisian di Maluku. Bila tidak, tentu sulit untuk mengatakan pers di Maluku sudah bebas dari ranjau-ranjau kematian.
Selain dua kasus tewasnya wartawan di Maluku, MMC mencatat sepanjang tahun 2010, telah terjadi tiga kasus pemukulan terhadap wartawan, dua kasus intimidasi berupa teror via SMS, dua kasus intimidasi di depan umum, dan satu kasus defamasi (pencemaran nama baik). Salah satu kasus yang menjadi perhatian publik adalah pemukulan yang dilakukan sejumlah oknum pegawai Pengadilan Negeri Ambon terhadap Koresponden SCTV di Maluku, Juhry Samanery. Sayangnya, tidak pernah ada penegakan supremasi hukum terhadap kasus-kasus yang membelengu kebebasan pers di Maluku. Semua kasus ini tidak pernah tuntas di ranah hukum. (***)
Jeremias Maahury dan Alex Kikilay, dua rekan Alfrets yang juga wartawan, bersaksi bahwa Alfrets menghilang sejak Selasa malam (14/12) sekitar pukul 24.00 WIT. Alfrets saat itu sedang melakukan investigasi dengan mengintai aktivitas bongkar muat BBM di pelabuhan Pantai Nama. Dia curiga ada bisnis illegal oil dengan menimbun BBM, dan diduga kuat melibatkan oknum aparat keamanan. Dugaan itu diperkuat dengan terjadinya kelangkaan BBM di Wonreli yang menyebabkan harga bensin misalnya mencapai Rp.25 ribu per liter.
Menurut Alex, sebelum pengintaian malam hari itu, dirinya bersama Alfrets sempat membuntuti sebuah truck yang dikemudikan seorang anggota polisi berinisial “EF”. Truck pick-up itu memasuki kawasan pelabuhan dan mengangkut drum-drum penuh bahan bakar. Saat truck itu keluar dari areal pelabuhan, Alfrets mengajak Alex untuk membuntutinya dengan sepeda motor. Hanya saja, incaran mereka tahu ada yang mengikuti dari belakang.
“Sempat terjadi adu mulut antara Alfrets dan polisi itu, yang menginginkan kami meninggalkan lokasi pelabuhan,” kata Alex.
Karena takut, Alex meminta Alfrets mengantarnya pulang. Setelah mengantar Alex pulang, Alfrets ternyata tidak langsung pulang ke rumah. Dia kembali ke pelabuhan untuk melanjutkan investigasi. Sejak malam itu Alfrets dinyatakan hilang hingga tiga hari kemudian jenasahnya ditemukan mengapung di laut, sekitar enam meter dari LCT Cantika 01 yang tengah sandar di pelabuhan Pantai Nama.
Satu hari setelah Alfrets menghilang, Rabu (15/12), topi yang biasa dipakainya ditemukan oleh seorang warga Thomas Katipana di atas pelabuhan dekat tambatan tali-temali LCT Cantika 01. Topi ini diserahkan ke Polsek setempat pada Sabtu (18/12).
LCT Cantika 01 adalah landen yang dipakai mengangkut 40.000 ton bahan bakar yang proses bongkar muatnya dipantau oleh Alfrets. Dari jumlah itu, 125 drum bensin milik anggota polisi yang sempat bersitegang dengan Alfrets. Sayangnya, LCT Cantika 01 yang dapat menjadi petunjuk TKP malah dilepas untuk berlayar oleh polisi setempat. Selain itu, motor sewaan merek Suzuki Thunder yang dipakai Alfrets juga ditemukan di pelabuhan dalam posisi kunci motor masih berada di antara setir dan tangki minyak.
Tidak berbeda dari Ridwan Salamun yang tewas dengan banyak luka berat, Alfrets Mirulewan pun tewas dengan bekas-bekas penganiayaan. Thimotius Mirulewan, kakak korban, menyatakan wajah bagian kiri Alrferts tampak lebam dan kelopak matanya pecah. Di kepala bagian belakang terdapat luka memar. Alfrets juga menggigit lidahnya yang terjulur.
Pihak keluarga Alfrets menyesali, tidak diijinkan polisi dan petugas kesehatan di Puskesmas Wonreli untuk melihat jasad korban. Otopsi yang dilakukan dengan kawalan polisi juga berlangsung tanpa izin pihak keluarga. Keluarga hanya menerima jenasah Alfrets di rumah duka, dalam kondisi sudah terbungkus plastik, dan sudah dipetikan. Karena penasaran, pihak keluarga lalu membuka peti dan plastik yang membungkus jenasah Alfrets.
Sama halnya dengan Ridwan yang dituduh sebagai pelaku konflik, Alfrets kini mendapat tuduhan sedang mabuk pada malam dia dinyatakan hilang. Kapolda Maluku Brigjen Syarief Gunawan saat pertemuan dengan DPRD Maluku dan MMC pada Selasa (21/12) mengatakan, salah satu saksi menyebutkan bahwa dirinya sempat bertemu dengan Alfrets pada Selasa malam dalam kondisi mabuk. Kapolda menduga, Alfrets mabuk dan terjatuh ke laut hingga menyebabkannya meninggal. Kapolda juga mengatakan, jenasah Alfrets sudah mengalami pembusukan lanjut yang menandakan kematiannya terjadi antara 24-36 jam sebelum diotopsi.
Agak membingungkan memang, dinamika arus laut sekitar pelabuhan Pantai Nama yang deras karena menghadap laut lepas seharusnya sudah menyeret jasad Alfrets bila dia meninggal sejak Selasa malam itu. Kenapa tiga hari di laut, Alfrets hanya berjarak sekitar enam meter dari LCT Cantika 01. Dari foto yang diambil saat Alfrets pertama kali dievakuasi dari laut, perutnya juga tidak kembung. Tampak kepalanya yang membengkak dan luka lebam di sekitar dua bola mata dan mulut. Selain itu, kulit perut, tangan dan bahu korban juga masih dalam kondisi belum mengalami pembusukan.
Belum terungkapnya secara benderang kasus kematian Ridwan Salamun dan sudah ada tambahan kasus serupa yang menyebabkan kematian Alfrets Mirulewan, menjadi pekerjaan rumah cukup berat bagi kepolisian daerah Maluku. Semua kini berpulang pada kejujuran pihak kepolisian di Maluku. Bila tidak, tentu sulit untuk mengatakan pers di Maluku sudah bebas dari ranjau-ranjau kematian.
Selain dua kasus tewasnya wartawan di Maluku, MMC mencatat sepanjang tahun 2010, telah terjadi tiga kasus pemukulan terhadap wartawan, dua kasus intimidasi berupa teror via SMS, dua kasus intimidasi di depan umum, dan satu kasus defamasi (pencemaran nama baik). Salah satu kasus yang menjadi perhatian publik adalah pemukulan yang dilakukan sejumlah oknum pegawai Pengadilan Negeri Ambon terhadap Koresponden SCTV di Maluku, Juhry Samanery. Sayangnya, tidak pernah ada penegakan supremasi hukum terhadap kasus-kasus yang membelengu kebebasan pers di Maluku. Semua kasus ini tidak pernah tuntas di ranah hukum. (***)