P2
OTORITARISME MEMBAYANGI INDONESIA DI BAWAH KEPEMIMPINAN PRABOWO ‼️
Setelah demonstrasi besar-besaran ini, Prabowo merespons dengan merombak kabinetnya dua kali untuk meredam kemarahan publik. Kebijakan ini merupakan respons sementara yang tidak mengatasi akar permasalahan melalui reformasi kebijakan dan tata kelola, yang merupakan tuntutan aksi massa.
Sebaliknya, hal ini merupakan ciri khas cara penguasa otoriter menggunakan lembaga politik, terutama legislatif dan partai, untuk mengelola ancaman, baik dari dalam elit penguasa maupun masyarakat luas. Lembaga politik menjadi mekanisme kooptasi, yang memberikan akses bagi kelompok oposisi untuk memengaruhi kebijakan atau mendapatkan keuntungan materi, dan mengurangi insentif untuk memberontak.
Tidak diragukan lagi bahwa demokrasi di bawah kepemimpinan Prabowo sedang terancam. Meskipun tindakan dan kebijakannya mengingatkan kita pada era Suharto, upaya-upaya ini belum tentu menandakan kembalinya rezim otoriter sepenuhnya. Pembatasan masa jabatan presiden dan Mahkamah Konstitusi masih memberikan mekanisme pengawasan dan keseimbangan kelembagaan. Porositas internet dan media sosial mempersulit kontrol penuh atas masyarakat sipil. Pilar-pilar ini berfungsi sebagai pengekang bagi kekuasaan kepresidenan Prabowo, sehingga sulit untuk mendapatkan kendali penuh.
Namun, dukungan dari mitra internasional juga krusial untuk membendung kemunduran demokrasi Indonesia. Tekanan diplomatik dari mitra Barat dapat membuat kerja sama militer dan keamanan bergantung pada pemenuhan standar demokrasi dan hak asasi manusia Indonesia. Lembaga keuangan internasional dan mitra pembangunan dapat mengaitkan pendanaan dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan langkah-langkah transparansi. Melalui pemantauan, pemantau pemilu dapat bekerja untuk memastikan legitimasi dan mencegah manipulasi. Masyarakat sipil transnasional juga dapat membangun solidaritas, menjalin kolaborasi antara aktivis Indonesia dan jaringan hak asasi manusia untuk memperkuat suara domestik.
Sebaliknya, hal ini merupakan ciri khas cara penguasa otoriter menggunakan lembaga politik, terutama legislatif dan partai, untuk mengelola ancaman, baik dari dalam elit penguasa maupun masyarakat luas. Lembaga politik menjadi mekanisme kooptasi, yang memberikan akses bagi kelompok oposisi untuk memengaruhi kebijakan atau mendapatkan keuntungan materi, dan mengurangi insentif untuk memberontak.
Tidak diragukan lagi bahwa demokrasi di bawah kepemimpinan Prabowo sedang terancam. Meskipun tindakan dan kebijakannya mengingatkan kita pada era Suharto, upaya-upaya ini belum tentu menandakan kembalinya rezim otoriter sepenuhnya. Pembatasan masa jabatan presiden dan Mahkamah Konstitusi masih memberikan mekanisme pengawasan dan keseimbangan kelembagaan. Porositas internet dan media sosial mempersulit kontrol penuh atas masyarakat sipil. Pilar-pilar ini berfungsi sebagai pengekang bagi kekuasaan kepresidenan Prabowo, sehingga sulit untuk mendapatkan kendali penuh.
Namun, dukungan dari mitra internasional juga krusial untuk membendung kemunduran demokrasi Indonesia. Tekanan diplomatik dari mitra Barat dapat membuat kerja sama militer dan keamanan bergantung pada pemenuhan standar demokrasi dan hak asasi manusia Indonesia. Lembaga keuangan internasional dan mitra pembangunan dapat mengaitkan pendanaan dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan langkah-langkah transparansi. Melalui pemantauan, pemantau pemilu dapat bekerja untuk memastikan legitimasi dan mencegah manipulasi. Masyarakat sipil transnasional juga dapat membangun solidaritas, menjalin kolaborasi antara aktivis Indonesia dan jaringan hak asasi manusia untuk memperkuat suara domestik.
- Artikel ini merupakan terjemahan dari Authoritarianism’s dark shadow over Prabowo’s Indonesia oleh Muhammad Aqshadigrama, terbit 9 Oktober 2025 di EAS ASIA FORUM.
- Muhammad Aqshadigrama adalah Analis Politik dan Sarjana Magister di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Islam Internasional Indonesia.