OTORITARISME MEMBAYANGI INDONESIA DI BAWAH KEPEMIMPINAN PRABOWO ‼️
Prabowo Subianto (tengah) di Jakarta, 28 Februari 2024, usai menerima pangkat jenderal bintang empat dari Presiden Joko Widodo yang telah berakhir masa jabatannya. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)
EAST ASIA FORUM / 09 October 2025
Pengarang : Muhammad Aqshadigrama
Universitas Islam Internasional Indonesia
Pengarang : Muhammad Aqshadigrama
Universitas Islam Internasional Indonesia
- SECARA SINGKAT
|
Sejak Presiden Prabowo Subianto dilantik pada 20 Oktober 2024, setidaknya telah terjadi lima gelombang protes massa yang signifikan di Indonesia, dimulai dari demonstrasi nasional yang menandai 100 hari pertama pemerintahan Prabowo–Gibran pada Januari 2025.
Hal ini diikuti oleh demonstrasi nasional "Indonesia Gelap" yang menentang langkah-langkah penghematan pada bulan Februari, protes pada bulan Maret terhadap revisi undang-undang militer Indonesia, dan demonstrasi menentang kenaikan pajak di Jawa Tengah pada bulan Agustus. Keputusan kontroversial Dewan Perwakilan Rakyat untuk menghapus tunjangan perumahan bagi anggota parlemen memicu gelombang protes nasional terbaru pada bulan Agustus, yang semakin intensif setelah pembunuhan seorang pengemudi ojek daring oleh polisi. Protes-protes ini mencerminkan ketidakpuasan publik atas berbagai kebijakan kontroversial yang memusatkan kekuasaan politik dan ekonomi Prabowo, memperkuat kecurigaan bahwa Indonesia mungkin kembali ke otoritarianisme era Suharto. Kemunduran demokrasi ini terjadi melalui tiga mekanisme — warisan sejarah, kooptasi elit, dan melemahnya oposisi secara bertahap. Pertama, warisan historis rezim Orde Baru masih terlihat jelas secara struktural dalam proses transisi demokrasinya. Sebagai tokoh kunci rezim Orde Baru, Prabowo memanfaatkan akar militernya untuk membangun retorika populis, memposisikan dirinya sebagai 'orang kuat penyelamat'. Baik rezim Orde Baru Suharto maupun Indonesia di bawah Prabowo saat ini menampilkan penggunaan militer sebagai alat untuk mengamankan kekuasaan politik. Namun, tidak seperti developmentalisme teknokratis Suharto, Prabowo melibatkan militer dalam kebijakan populisnya seperti program Makanan Bergizi Gratis. Militer tidak lagi netral, melainkan menjadi pelaksana agenda politik dan ekonomi Prabowo, yang membenarkan tindakan represif sebagai hal yang diperlukan untuk stabilitas. Dan karena program-program populis dikelola oleh militer, terdapat risiko penyalahgunaan anggaran.
Tentara berpatroli di jalan setelah protes keras selama berhari-hari terhadap fasilitas dan hak istimewa anggota parlemen di Jakarta. (Foto AP)
Kedua, terjadi pergeseran yang nyata dalam interaksi antar-elit politik dari polarisasi pada Pemilu 2014 dan 2019 menuju persatuan, yang mencerminkan keberhasilan Prabowo dalam mengkooptasi hampir semua partai politik besar. Alih-alih melarang oposisi dan menciptakan dominasi satu partai seperti Golkar di masa Suharto, Prabowo justru mengajak sebagian besar partai oposisi untuk bergabung dengan koalisi pemerintahannya.
Meskipun tren kooptasi serupa sudah dimulai sejak masa jabatan mantan |
Presiden Joko Widodo, Prabowo telah mendorongnya lebih jauh dengan merangkul semua kelompok, termasuk partai-partai Islam sayap kanan seperti Partai Keadilan Sejahtera yang secara konsisten menjadi oposisi selama dua periode pemerintahan Jokowi. Konsolidasi kekuasaan ini memberikan kekuatan yang luar biasa bagi koalisi Prabowo, melemahkan oposisi di lembaga-lembaga politik Indonesia dengan mengurangi mekanisme pengawasan dan keseimbangan di parlemen.
Ketiga, Prabowo telah memperluas kendali atas pengaruh masyarakat sipil, sehingga meredam oposisi dan kritik. Prabowo merangkul dua organisasi Islam terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dengan memberi mereka posisi menteri dan konsesi pertambangan batu bara sebagai imbalan atas dukungan politik. Dan untuk meredam demonstrasi, Prabowo menggunakan taktik kekerasan terhadap para demonstran, mengingatkan pada represi Orde Baru di bawah Suharto. Peluru karet dan gas air mata digunakan terhadap para demonstran, disertai dengan pemaksaan selektif, penangkapan, dan intimidasi. Pemerintahan Prabowo juga mendelegitimasi para kritikus dengan melabeli para demonstran sebagai teroris, pengkhianat, anarkis, dan 'antek asing'. Prabowo menuduh keterlibatan asing berada di balik setiap gelombang protes dalam upaya membungkam kritik dan demonstrasi, yang dianggapnya merugikan kedaulatan dan citra internasional Indonesia. Represi dan intimidasi digital juga telah mempercepat serangan siber dan doxxing jurnalis ke propaganda daring dan pasukan bot. Dalam satu kasus ekstrem, seorang jurnalis menerima kepala babi dan memenggal kepala tikus sebagai balasan atas laporan kritisnya terhadap pemerintahan Prabowo.
Sementara otokrasi era Suharto dijalankan secara vulgar melalui kekerasan dan senjata, Prabowo tampaknya menggunakan metode-metode baru. Rezim Prabowo mewakili apa yang oleh para ahli disebut sebagai 'gelombang ketiga otokratisasi', di mana transisi menuju otokrasi semakin cepat melalui jalur hukum. Legislasi, undang-undang, dan peraturan perlahan-lahan berubah dan lembaga-lembaga demokrasi seperti Mahkamah Konstitusi secara bertahap melemah, yang menyebabkan runtuhnya sistem demokrasi Indonesia. |